Headlines News:

Pantai Lampu'uk Aceh

Written By T Noval Ariandi on Saturday, 16 June 2012 | 14:05

Pantai ini pernah diabaikan karena terjangan tsunami pada 2006, tapi sekarang sudah ramai dikunjungi oleh wisatawan, terutama pada akhir pekan. Para wisatawan yang datang ke pantai tidak hanya dari wisatawan lokal tetapi juga dari wisatawan asing.

Keindahan panorama alam pantai menjadi magnet bagi wisatawan. Pasir putih yang terletak di pantai membuat lebih cantik. Selain itu, wisatawan yang datang ke sana juga dapat berenang, berjemur di terik matahari, memancing, berlayar, berselancar, dan bahkan menyelam sambil menikmati keindahan bawah lautnya.

Atraksi lain dari kawasan wisata ini adalah Lapangan Golf Seulawah, dengan latar belakang panorama laut. Selain, wisatawan juga dapat menikmati keindahan panorama matahari terbenam yang akan membuat keindahan pantai terlihat lebih eksotis.

Pantai Lampuuk terletak di Kecamatan Lhoknga, Kab.Aceh Besar, Provinsi Aceh. Jarak dari kota Banda Aceh hanya 20 km yang membuat akses ke resor pantai lebih mudah.

Untuk wisatawan yang lebih suka naik kendaraan pribadi, jalur yang bisa dilalui adalah jalur Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) yang hanya membutuhkan waktu setidaknya 20 menit. Sementara itu, wisatawan yang lebih memilih untuk mengambil transportasi umum dapat mengambil arah transportasi publik perkotaan Banda Aceh-Lhok Nga jarak tempuh 35 menit.

Setelah terjangan tsunami, semua fasilitas dan akomodasi yang tersedia di resor pantai juga hancur. Meskipun demikian, wisatawan yang datang resor pantai tidak perlu khawatir tentang itu karena mereka bisa mendapatkan penginapan, restoran, dan fasilitas lainnya di kota Banda Aceh yang tidak terlalu jauh dari resor pantai.(Refernesi)

Dunia Aceh

Aceh adalah salah satu pulau yang menarik di Indonesia. Di masa lalu, Aceh disebut sebagai Daerah Istimewa Aceh  dan berganti menjadi Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009). Aceh adalah salah satu provinsi Indonesia yang terletak di ujung pulau sumatera Ibukota Aceh adalah Banda Aceh. Pelabuhan Malahayati di Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Aceh menempatkan peringatan besar bagi Indonesia, di mana Aceh mendapat bencana besar pada tahun 2004. Tsunami menyerang sebagian besar Pulau Aceh pada saat itu. Ada lebih dari 100.000 orang yang hilang atau mati, fasilitas umum banyak yang rusak. Tapi sekarang, di Aceh telah terjadi restorasi besar, dan sekarang Aceh berubah menjadi pulau indah lagi. Seiring Aceh, Anda akan melihat bahwa ada banyak sumber daya alam seperti hutan (kayu), minyak bumi, emas, gas alam, kopi, ikan, dan rempah-rempah. Beberapa rempah-rempah herbal di Aceh memiliki fungsi besar sebagai obat herbal. Ketika kita mengunjungi Aceh, kita akan melihat banyak unik sejarah, budaya, dan makanan tradisional yang lezat khusus. Aceh memiliki 5 kota pemerintah, di antaranya Banda Aceh, Langsa, Lhoseumawe, Sabang, dan Subulussalam. Aceh memiliki 18 kabupaten juga. Ketika Anda mengunjungi pulau ini, Anda bisa melihat beberapa budaya yang unik, seni, dan sastra. Di sini mereka memiliki:

Seni dan Budaya-Didong (seni pertunjukan tradisional dari Gayo)-Meuseukee Eungkot (tradisi khusus dari barat Aceh)-Peusijeuk (tradtion khusus dari Melayu)Sastra-Bustanussalatin-Legenda Prang Sabi-Legenda Amat Rhah Manyang-Legenda Putroe NengDi Aceh memiliki senjata khusus yang tampak seperti huruf "L". Nama ini adalah "Rencong". Rumah adat Aceh disebut Rumoh Aceh. Rumah tradisional adalah jenis rumah panggung. Rumah ini memiliki 3 bagian utama dan 1 bagian sebagai tambahan. Mereka 3 bagian utama adalah seuramoรซ keuรซ (lokasi depan), seuramoรซ Teungoh (lokasi tengah) Dan seuramoรซ likot (lokasi belakang). Bagian tambahan disebut rumoh Dapu sebagai bagian dapur. Di Aceh pulau memiliki 10 suku. Ini 10 suku tersebar di seluruh Pulau di Aceh. 10 suku memiliki tarian tradisional mereka sendiri. Tarian tradisional akrab disebut Saman Meuseukat Rateb tari-tarian dan lain Laweut, Lokok Pulo, Pho, Ratoh Duek, Bines, Munalulu. Di Aceh banyak pulau menawarkan wisata seperti pantai. Pantainya sangat indah dan eksotis.(Referensi)

Pantai Lhok Nga'

Hamparan pasir putih yang indah di Lhok Nga membuat pantai ini menjadi tujuan wisata paling di Aceh. Selain itu, wisatawan yang berkunjung ke sana mungkin menemukan beragam karang putih dan keong di pantai berpasir.

Selain menikmati keindahan pemandangan pantai sambil duduk dan bermain pantai berpasir; wisata juga bisa memancing, snorkeling, berjemur, dan berenang. Tapi satu hal yang harus diperhatikan bagi wisatawan perempuan bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk berenang dengan bikini.

Tinggi gelombang bisa mencapai 3 km yang menjadi daya tarik bagi wisatawan yang suka surfing. Bagi wisatawan yang tidak membawa papan selancar mereka sendiri tidak perlu khawatir karena pada banyak pantai layanan sewa papan selancar.

Lain keindahan yang dapat dinikmati oleh wisatawan adalah suasana pantai yang tenang di sore hari. Eksotisme ini menjadi lebih sempurna dengan panorama yang indah dari matahari yang perlahan menghilang di ufuk barat.

Lhok Nga terletak di pantai Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar Kabupaten. Lokasi yang dekat dengan Pantai Lampuuk membuat kawasan wisata ini dapat dicapai melalui Banda Aceh - Calang jalur. Jarak dari pantai Lhok Nga dari kota Banda Aceh cukup jauh dibandingkan dengan pantai Lampuuk yang terletak 22 km. Untuk pergi ke sana dapat mengambil 40 menit dengan angkutan umum perkotaan. Sementara jika wisatawan pergi ke sana dengan kendaraan pribadi, hanya membutuhkan 25 menit.

Hal ini tidak terlalu berbeda dengan pantai Lampuuk, sebagian besar fasilitas wisata tersebut hancur akibat tsunami. Meski begitu, wisatawan tidak perlu khawatir tentang makanan dan minuman. Sepanjang pantai ada banyak makanan menjual kios dan minuman. Sedangkan untuk wisatawan yang ingin mengajukan, mereka sebaiknya pergi ke kota Banda Aceh.(Referensi)

Air Terjun Suhom

Sebagai salah satu tujuan wisata di Aceh, banyak wisatawan mengunjungi air terjun Suhom baik lokal maupun asing. Tentu saja, itu karena pemandangan alam di sekitar air terjun. Sekitar air terjun, wisatawan dapat menemukan pohon durian. Oleh karena itu, wisatawan yang datang ke sana di musim durian bisa makan buah durian. Selain menjadi tujuan wisata, air terjun mengamuk nya dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik.

Air terjun ini termasuk wilayah Desa Suhom dan Kreung Kala desa, kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceb Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi kawasan wisata ini dapat dicapai dari Banda Aceh dengan mengambil transportasi umum yang memakan waktu sekitar satu jam. Rute yang dapat dilalui adalah Banda Aceh - Calang (Aceh Jaya). Sedangkan untuk wisatawan yang pergi ke sana dengan kendaraan sendiri, hanya membutuhkan waktu 45 menit.

Untuk wisatawan yang suka berkemah di seputaran wilayah air tejun Suhom ingin sanagt cocok untuk di jadikan area perkemahan Alias camping.(Referensi)

Danau Laut Tawar

Sebagai satu bagian dari Kepulauan Sumatera, Aceh memiliki banyak potensi untuk dikunjungi. Bila Anda bepergian ke Aceh - Anda bisa mengunjungi salah satu objek pariwisata. Ini adalah Danau Laut Tawar dan begitu akrab di Sumatera Kepulauan dan terutama di Aceh Island. Danau Laut Tawar di Aceh terletak di dataran tinggi Gayo di mana ketinggian 1,250 meter dari laut. Danau ini memiliki sekitar 5,427 hektar lebarnya, dan panjangnya sekitar 17 kilo meter dan lebarnya sekitar 5,5 kilo meter. Danau ini disebut Danau Laut Tawar karena yang luas ini tampak seperti laut. Tapi airnya tidak asin. Salah satu keunikan Danau ini adanya ikan khusus disebut Ikan Depik (Di Indonesia) atau Rasbora Tawarensis (dalam bahasa Latin). Ikan ini hanya ada di Indonesia. Sangat sulit untuk menemukan ikan ini di negara-negara lain.

Ada banyak orang yang melakukan perjalanan ke danau ini. Karena kondisi Danau Laut Tawar di Aceh telah menjadi simbol ikon pariwisata orang Aceh. Di tempat ini, Anda bisa menikmati indahnya panorama alam. Itu keindahan panorama eksotis berasal dari dua bukit yang mengapit danau ini. Ada beberapa kapal motor yang siap untuk membawa Anda melihat-lihat di sepanjang Danau ini. Sementara para wisatawan menikmati panorama yang indah, mereka bisa memancing dan melihat beberapa aktivitas warga sekitar seperti tanam. Suasana tenang nya bisa kehilangan perasaan kita bosan dan lelah jugaObyek wisata ini terletak di sebelah timur Kota Takengon, Nangroe Aceh Darussalam. Para wisatawan yang ingin melakukan perjalanan ke Danau ini, Bisa jadi begitu mudah dengan pergi melalui Kota Bireun, Nangroe Aceh Darussalam. Para wisatawan dapat menemukan terminal kecil yang bisa membawa Anda langsung ke Danau Laut Tawar Danau. Ini menghabiskan sekitar 5 jam. Rute alternatif lain, para wisatawan bisa melalui Blang Kejeren dan Kutacane. Sebagai tempat favorit bagi banyak wisatawan, mereka tidak bisa begitu sulit untuk menemukan beberapa penginapan. Tidak hanya penginapan, wisatawan dapat menemukan beberapa restoran. Di restoran ini, Anda bisa menemukan beberapa menu khusus.(Referensi)

Wisata Kuliner Di Rumah Makan Mie Aceh Seulawah Benhil


Hj. Ratna Dwikora Pemilik Rumah Makan Mie Aceh Seulawah
Hj. Ratna Dwikora Pemilik Rumah Makan Mie Aceh Seulawah

Mie adalah makanan asal Asia yang amat go international dan terkenal. Sejak ribuan tahun lalu mie diciptakan di negeri China dan mie terus beradaptasi dengan berbagai bangsa. Di Indonesia, mie dimodifikasi menjadi beragam masakan. Ada mie aceh, mie makassar, sampai mie item dan mie dari sayuran yang unik. Fenomena mie instan dimana konsumsi mie instan per orang di Indonesi adalah 75 bungkus perbulan yang akhirnya memunculkan berbagai merek di pasar dan gencarnya program marketing dari produsen mulai dari iklan, below the line, above the line mencerminkan mie memang jenis makanan yang fenomenal di Indonesia.
Salah satu pelopor wisata kuliner Aceh adalah Rumah Makan Mie Aceh Seulawah yang dikelola Hj Ratna Dwikora SH (46). Beragam menu Tanah Rencong disajikan antara lain gulai ikan hiu, kepala ikan, keumamah (ikan kayu), paeh engkout bileh (pepes), sayur pliu, sambal ganja, mi aceh dan masih banyak lagi. “Ini adalah masakan rumahan dan menu sehari-hari orang Aceh. Awalnya memang banyak orang Aceh yang makan di sini. Mereka seperti pulang ke rumah dan menyantap masakan ibunya. Belakangan ini selain orang Aceh, banyak juga masyarakat non Aceh yang suka,” kata Ratna Dwikora yang membuka rumah makannya di Bendungan Hilir persis di depan Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo atau terletak di Karet Tengsin di belakang Hotel Sahid.
Bondan Winarno Di RM Mie Aceh Seulawah Pada Acara Wisata KulinerHj Ratna Dwikora SH, alumnus Fakultas Hukum Unsyiah mulai buka usaha ini sejak 15 tahun lalu dengan bumbu-bumbu racikan tangan ibundanya, Hj. Fatimah. Pertama kali dibuka pada tahun 1995 di samping Kantor Departemen Agama Jakarta Selatan di daerah Warung Buncit. Sejak 1997 pindah ke Jl KH Mas Masyur Karet Tengsin dan mulai Januari 2003 pindah kelokasi saat ini dengan suasana baru yang full AC sesuai permintaan banyak konsumen setia. Kala itu, ia ingin memulai kuliner yang unik. Apalagi dalam pandangannya, kuliner yang lengkap menyajikan menu Aceh masih bisa dihitung dengan jari. “Saya membuat brosur dan pasang iklan sebulan penuh di koran ibukota untuk memperkenalkan usaha. Saya juga menghubungi kantor komunitas masyarakat Aceh.”.
Dengan peluang usaha yang besar dan pesaing sedikit maka program marketing yang dipilih adalah dengan membuat brosur, pasang iklan dan akhirnya berkembang kearah word of mouth marketing dan dalam waktu relatif singkat usaha Rumah Makan Mie Aceh Seulawah dikenal orang. Ia pertama kali menerima pesanan katering untuk 300 tamu dari wakil jaksa agung. Acara itu juga dihadiri gubernur Sumatera Utara ketika itu, Raja Inal Siregar. Ketika mantan Panglima Aceh Tengku Johan punya hajat di salah satu hotel berbintang, Ratna juga diminta menyediakan salah satu hidangan.
Rumah Makan Mie Aceh Seulawah juga menjadi tempat favorit pejabat, selebriti tanah air hingga pemburu kuliner di Indonesia. Hasil kerja keras dengan melakukan berbagai trik marketing tersebut kini bisa terlihat jelas dengan ditampilkannya beberapa tulisan surat kabar, tabloid dan majalah yang dicetak dalam ukuran besar dijadikan hiasan dinding yang dicat warna krem dicampur coklat. Dinding ruangan juga dihiasi puluhan piring porselen yang memuat kesan dan tanda tangan milik sejumlah orang-orang terkenal Indonesia. Antara lain ada aktor Slamet Rahardjo Djarot, Butet Kertaredjasa, Bondan Winarno, pembawa acara kuliner Trans TV dan lain-lain.
“Hampir semua pejabat Aceh, mulai bupati sampai Pak Gubernur yang setiap kali tugas ke Jakarta sering mampir ke sini. Juga Keluarga Bapak Ibrahim Hasan, Keluarga Bapak Hasan Meutarum, Keluarga Bapak AR Ramli, Keluarga Bapak Bustanil Arifin, Bapak Syamsudin Mahmud, Keluarga Bapak Abdullah Puteh, Bapak Hasbalah M Saad, Bapak Ridwan Ramli. Akhir-akhir ini, Butet Kartaredjasa termasuk rajin ke Rumah Makan Mie Aceh Seulawah. Selebriti lain seperti pasangan Tengku Firmansyah & Cindy , Ibu Ani Sumadi dan Helmy Yahya pun sering datang karena sangat menyukai masakan kami.” kata Ratna Dwikora yang berasal Sigli ini. Untuk membuat masakan Aceh yang kaya bumbu Ratna Dwikora bahkan rela mendatangkan bumbu langsung dari Aceh, mulai dari jintan, kapulaga, lada, jahe, merica, sampai cengkih. “Bumbu khas masakan Aceh adalah asam sunti, ini belimbing sayur yang dikeringkan.”

Mie Aceh Seulawah
Mie-nya berwarna kuning menyala, berdiameter sedang. Kuah kentalnya yang berwarna cokelat mengeluarkan aroma seafood dan herbal kuat, sesuai dengan citarasanya yang juga garang. Secara umum, rasanya seperti kari, tetapi dengan tendangan bawang merah yang lebih mantap. Di Malaysia, mie seperti ini kebanyakan dijual oleh orang India Muslim atau Pakistan, dan dikenal dengan nama Mie Mamak.
Bisa dipesan sebagai mie goreng maupun mie kuah. Bumbunya persis sama, tetapi yang versi kuah ditambah air. Disajikan dengan emping melinjo dan acar bawang merah. Klopnya, menu ini disandingkan dengan jus timun (timun kerok), sesuai dengan konsep yin-yang, yaitu keseimbangan antara bumbu yang kuat dengan minuman yang segar dan menyejukkan. Mi Aceh Spesial dengan seekor kepiting utuh dibandrol Rp 50.000. Tetapi, untuk Mi Aceh dengan lima ekor udang kupas ukuran sedang dapat dinikmati dengan Rp 17.500 saja. Tetapi, bila alergi makanan laut, juga dipesan versi ayam.

Menu Menu Favorit Lain Di Rumah Makan Mie Aceh Seulawah
Salah satu menu favorit Rumah Makan Mie Aceh Seulawah adalah ikan kayu yang semangkuk kecil harganya Rp 7.000. Ini ikan tongkol yang diperlakukan secara istimewa. Setelah direbus, ikan dijemur sampai benar-benar kering. Untuk panas normal, butuh waktu sekitar empat hari sampai ikan mengeras seperti kayu. “Bisa tahan sampai setahun, lho. Nah, sebelum dimasak, ikan direndam dulu semalaman. Setelah empuk, diserut kecil-kecil dan dimasak tumis kering atau dimasak bersama cabai hijau. Pada mulanya ikan kayu ini adalah makanan untuk dibawa sebagai bekal untuk perang melawan penjajah.
Menu favorit lainnya sayur pliu yang dipatok harga Rp 10.000. Ada lagi sambal ganja yang harganya Rp 8.000. Bukan ganja beneran tapi sambal ganja yang dibuat dari udang rebus plus bumbu-bumbu segar. “Rasanya pedas segar. Setelah makan, membuat orang terkantuk-kantuk. Makanya dibilang seperti ganja. Yang juga khas adalah ikan hiu, seporsi Rp 20.000
Menu favorit pengunjung adalah Bebek Gule dan Kari Kambing. Bebek dimasak dengan cara digulai dengan bumbu khas Aceh yang pekat dan legit ini merangsang selera makan. Disantap bersama nasi putih hangat atau dimakan begitu saja sama enaknya. Daging kambing diolah bersama bumbu kari ini juga tak kalah sedap. Dimakan bersama nasi putih atau roti cane, yaitu terbuat dari kulit martabak yang digoreng, juga maknyus.
Putu kuah adalah menu khusus yang disediakan Rumah Makan Mie Aceh Seulawah yang terletak di Jalan Bendungan Hilir (Benhil) Jakarta dan dalam sehari rumah makan khas Aceh itu menyediakan 40-60 lembar putu dengan kuah rasa durian atau nangka. Per porsi dijual Rp 10.000. Putu kuah tersebut dibuat dari tepung ketan dan disiram dengan kuah santan yang dicampur dengan adonan buah durian atau nangka.
Yang pantas juga dipesan air mentimun atau rujak Aceh di rumah makan ini Air mentimun yang segar dan Rujak Aceh seperti rujak serut, namun berkuah bening dan sedikit pedas, memang cocok untuk dijadikan penutup usai bersantap sajian yang berbumbu pekat ini. Selagi menunggu pesanan, nikmati dulu Timphan atau kudapan yang terbuat dari tepung beras berisi sarikaya yang beraroma nangka dan dibungkus daun pisang muda yang gurih sebagai perangsang selera makan.
Setiap hari, sejak pukul 16.00 WIB sampai tiba jam tutupnya, rumah makan ini juga menggelar tenda di bagian depan yang menyediakan Mi Aceh, Martabak Aceh, serta Nasi Goreng Kambing. Untuk Mi Aceh Seulawah, pengunjung dapat memesan berupa mi goreng, mi rebus atau mi kuah. Uniknya mi yang dipakai dibuat sendiri. Berwarna kuning kunyit, mi ini tidak mengembang saat diolah dan terasa mulur ketika disantap.
Khusus hari Jumat Rumah Makan Mie Aceh Seulawah menyediakan Nasi Briyani, seperti nasi kuning dengan bumbu pekat dan potongan daging kambing, yang dijual per porsi Rp. 9.000. Selain dimakan di tempat, Nasi Briyani ini juga dapat dipesan untuk dibawa pulang.
Jangan menyebut diri pecinta kuliner, apabila belum sempat mencoba menu-menu favorit dari Rumah Makan Mie Aceh Seulawah ini. Ayo segera kunjungi:
RUMAH MAKAN MIE ACEH SEULAWAH
  • Menyediakan Hidangan Khas Aceh
  • Layanan Pesan Antar (Delivery Service)
  • Nasi Kotak Hidangan Nasional ataupun Aceh
  • Catering Service Lengkap
  • Katering Pesta Pernikahan
Jl. Bendungan Hilir Raya 8 – Jakarta Pusat
Depan Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo
Telepon: 021 5708660
TESTlMONIAL:
Setelah mencoba desain logo sendiri dan dilombakan secara internal perusahaan gak ada hasil yang memuaskan, kami menemukan situs. Semula coba-coba dulu membuat desain logo untuk usaha kami, 3 hari kemudian kami dikirim hasil desain logo pertamanya. Terkejut juga ya, karena desain dan paduan warnanya sangat cocok dengan keinginan kami seperti yang kami tuangkan dalam kreatif brief yaitu CANTIK dan ELEGAN sehingga beberapa perubahan berikutnya hanya tinggal revisi kecil-kecilan saja. Kami sangat senang dengan kerja tim Akarapi Indonesia. – Heru & Retno Dwikora
 
(Sumber)

Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM)

Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda adalah bandara yang terletak 13,5 kilometer tenggara ibukota provinsi Aceh, Banda Aceh. Hal ini dinamai sultan kedua belas Aceh, Iskandar Muda.

Setelah dilanda bencana tsunami pada 26 Desember 2004, bandara telah direnovasi dan memiliki 3.000 meter landasan pacu untuk berbadan lebar liners jet. Pada tanggal 9 Oktober 2011 Boeing 747-400 pertama telah lepas landas dan mendarat dengan sukses, terbukti bahwa bandara bisa jadi angkutan lapangan terbang bagi perusahaan penerbangan internasional.

Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) di Provinsi Aceh diharapkan menjadi bandar udara transit internasional.

Bandara SIM manajemen PT Angkasa Pura II siap menyelesaikan berbagai fasilitas pendukung untuk menjadikannya sebuah bandara transit internasional.

Airlines terbang setiap hari tujuan Banda Aceh dan Medan, 1 jam perjalanan, atau Jakarta, 2 jam 40 menit perjalanan.
AirAsia tujuan Kuala Lumpur.
Batavia Air Tujuan Jakarta dan Medan
Firefly Tujuan Penang, maskapai Malaysia sekarang terbang dari Penang ke Banda Aceh setiap Selasa, Kamis dan Sabtu
Garuda Indonesia, tujuan Jakarta dan Medan, 3 penerbangan harian dari Jakarta dan dua penerbangan setiap hari dari Medan. Penerbangan Jakarta-Banda Aceh langsung pada Garuda memakan waktu 2 jam 40 menit dengan 737 Boeing, meskipun sering berubah menjadi persinggahan di Medan tanpa peringatan. Musiman ke Jeddah dan Arab Saudi selama musim haji
Lion Air Tujuan Jakarta dan Medan. Mereka memiliki dua penerbangan harian dari Jakarta dan satu dari Medan.
SMAC Tujuan Blang Pidie, Meulaboh, Simelue, Takengon, Tapaktuan. Lalat setiap hari dari Medan ke Pulau Nias dan Pulau Simeulue.
Sriwijaya Air Tujuan Medan
Susi Air Tujuan Meulaboh

Visa formalitas di bandara ini mirip dengan gateway imigrasi Indonesia lainnya.
Visa On Arrival (VOA) tersedia di Bandara Sultan Iskandar Muda.

Ketika Di Aceh


Barometerpost.com. Awal Desember tahun lalu, penulis berkesempatan melawat ke Aceh. Banyak sekali kenangan di kawasan yang dahulunya dikenal sebagai “zona merah” dalam babakan sejarah negeri ini. Aceh merupakan bumi para pejuang. Sematan tersebut bukanlah tanpa bukti. gurat-gurat perjungan masa lalu, menghiasi sudut-sudut Banda Aceh. Mulai dari deretan destinasi-destinasi historis era Kerajaan Aceh Darussalam sampai jejeran museum perjuangan revolusi fisik di samping Meligoe (pendopo) kegubernuran.
Menengok Banda Aceh sama halnya dengan membentangkan babakan besar sejarah bangsa ini. banyak ahli sejarah meyakini, daerah di ujung utara Pulau Sumatera ini merupakan tempat awal berjejaknya Islam di bumi Nusantara. Di masa lalu, Aceh dikenal sebagai bandar dagang yang disibukkan dengan berbagai kapal pemborong besar yang berasal dari belahan dunia manapun, tak terkecuali yang berasal dari Arab, Gujarat, Persia, dan Turki.
Para pedagang Muslim tersebut, selain berupaya melaggengkan transaksi dagang dengan kaum pribumi, juga lamat-lamat merekonstruksi dialog kearah yang lebih privatif, yakni ke wilayah kepercayaan akan Tuhan.
Sebelumnya, di pedalaman Aceh, sempat berdiri kerajaan Hindu yag cukup dikenal di dalam kajian lokal sejarah Aceh. Namanya kerajaan Jeumpa terletak di daerah yang kini dikenal dengan Bireuen  Alkisah, pada abad ke-8, terdapat seorang anggota Revolusi Syiah yang bernama Maharaj Syariar Salman yang mengadakan kunjungan ke Utara Sumatera. Pengembaraannya bukanlah tanpa sebab.
Sebelumnya di Jazirah Arab, terjadi friksi yang ketat antara golongan Syiah dan pemerintah yang sedang berkuasa di masa itu. Perbedaan pandangan politik menyebabkan golongan minoritas ditindas dan didisposisikan dari kehidupan sosial. Syahriar Salman, merupakan satu diantara mereka yang mencoba peruntungan di tanah orang akibat dari ketidakkondusifan suhu politik di daerah asalnya. Kerajaan Jeumpa merupakan akhir dari masa pengembaraannya. Beliau disambut dengan keramahan di kerajaan Hindu tersebut.
Singkat Cerita, Raja Jempa menikahkan puterinya, Putri Mayang Selundang dengannya dan beberapa waktu berselang setelah itu, Jeumpa menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara jauh sebelum Kerajaan Perlak berdiri.
Membelah kota Banda Aceh laiknya mengunduh berbagai pengalaman tradisi, kebudayaan, falsafah yang tak terkira banyaknya. Hampir disetiap bilangan tempat lambang “Pintu Aceh” seakan mewartakan bahwa Banda Aceh adalah gerbang perbendaharaan ragam peristiwa besar yang menyejarah. Ibarat pintu terbuka yang dari dalamnya keluar kilasan-kilasan epos mencengangkan yang merubah wajah Aceh.
Di era Sultan Iskandar Muda, yang konon merupakan Raja Aceh terbesar dan teragung di masa lalu, Kerajaan Aceh Darussalam dibawa ke masa yang penuh dengan kegemilangan. Satu kata dari ribuan tafsir mengenai Sultan ini, adalah “lawan”. Raja Aceh ini, merupakan sosok yang tak kenal kompromi dengan campur tangan asing. Pada 1613, Sultan Iskandar Muda menyerang kerajaan Johor, yang notabene masih serumpun yang ditengarai mengadakan kontak dengan Portugis.
Sebelum bangsa tersebut menyentuh Aceh, apa salahnya menghadang dan meleburkan kekuatan asing itu, walaupun di negeri orang, demikian kiranya yang terbetik di jalan pemikiran sang Sultan. Berbeda dengan di Jawa yang pada umumnya makam-makam tokoh-tokoh besar ramai dikunjungi peziarah, pemandangan di komplek makam Sultan Iskandar Muda pada saat itu terlihat lengang. Salah satu faktor utama terkait hal tersebut adalah perbedaan paham keagamaan yang mencolok terkait ziarah kubur. Jika di Jawa peziarah umumnya selain berdoa, juga menjadikan kawasan makam sebagai tempat untuk mencari ketenangan batin, sedangkan di Aceh ziarah hanya dimaknai dengan ibadah yang sifatnya tak lebih dari berdoa, itupun tak harus berlama-lama di lokasi makam.
Di pinggiran Banda Aceh, terdapat satu jalan raya yang melewati Pabrik Semen Lhok Ngha, yang terletak di tepi pantai. Sepanjang perjalanan, perbukitan bersap-sap menimbulkan nuansa keindahan tersendiri. Aceh tak saja menyimpan kekayaan khazanah sejarah, tapi juga “surga hijau yang terpendam”. Deretan perbukitan yang menghijau ditumbuhi pohon-pohon cemara, sekilas tak kalah dengan Pegunungan Alpen Swiss, namun tanpa salju. Nuansa keindahan tersebut mengiringi sampai pantai Lhok Ngha, dimana hijaunya perbukitan bertatap muka langsung dengan kelembutan birunya samudera Hindia, seperti sepasang manusia yang memadu kasih dipayungi sinar mentarai yang kembali ke peraduan.
Kita tinggalkan Lhok Ngha dengan sejuta keramahan alamnya, deru mobil mengantar kami ke patai lepas di kawasan Ulee Lhe. Sejauh mata memandang hanyalah segara yang tanpa batas hanya sesekali pandangan kami dicuri oleh kapal tanker dengan kepulan asap hitamnya. Suasana keakraban yang ditawarkan pantai tersebut, terasa lebih bersahabat dengan tawa cekikikan anak-anak yang berenang di pinggir pantai.
Perjalanan saya berlanjut ke makam Syaikh Abdurrauf Singkel yang dikenal dengan nama Syah Kuala yang berada di bibir pantai Aceh. Dari lokasi makam tersebut jikalau dilihat kejauahan, samar-samar nampak gugusan Kepulauan Aceh dan Pulau Sabang, tempat kilometer nol negara ini  berada. Syah Kuala menempati posisi penting dalam perjalanan kehidupan beragama  pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Beliau mengganti kedudukan mufti Aceh, pasca-bertolaknya Nuruddin Ar-Raniry ke negeri asalnya, Gujarat.
Secara tata kelola bangunan, tak ada yang menyita perhatian dari komplek makam tersebut, kecuali nisan-nisannya yang berumur ratusan tahun. Semilir angin sore yang menyelimuti kawasan tersebut seakan menandakan betapa teduhnya hukum Islam yang tergelar era Syah Kuala. Ketamaddunan peradaban bersendikan nilai-nilai Islam moderat betul-betul tertanam kuat di masa kepemimpinan Syah Kuala. Dalam perundang-undangan Kerajaan Aceh Darussalam tertulis Hukum bak Syah Kuala.
Perjalanan kami, berakhir di makam Teuku Nyak Arief, tepatnya di Lam Nyong. Kesederhanaan yang terpancar dari komplek pemakaman Residen pertama Aceh tersebut seakan meyakinkan para peziarah bahwa sosok yang terbaring di kompleks tersebut merupakan pribadi yang menjalani hidup laiknya para pengamal tradisi tasawuf, hidup serba terbatas namun ajeg dalam perjuangan mengusir para penjajah. Teuku Nyak Arief dikenang sebagai Tiga serangkai bersama Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu di era revolusi fisik pasca-proklamasi 1945.

Harapan tak berujung
Mencermati keadaan negeri rencong belakangan, agaknya catatan harmoni perjalanan berbanding terbalik dengan kisah memilukan para korban penembakan akhir-akhir ini. belum lagi, peristiwa robohnya sutet oleh sekawanan orang tak dikenal semakin memperkuat betapa ruang publik Aceh disesaki oleh atsmosfer ketakutan dan kecemasan.
Bayak pihak yang mensinyalir, hadirnya ketegangan di Aceh erat kaitannya dengan semakin dekatnya Pilkada (pemilihan kepala daerah) Aceh yang sebentar lagi akan berlangsung. Beberapa pengamat menengarai, absennya Partai Aceh, sebagai partai domestik terbesar di Aceh disebut-sebut menjadi sinyalemen pergolakan di akar rumput. Ini pun belum dapat dibuktikan secara akurat.
Yang terpenting, adalah bagaimana mencari resolusi terkait maraknya aksi teror tersebut. Timbulnya krisis memilukan tersebut, tentu didahului oleh banyak asumsi yang mengerucut pada ketidakpuasan pada langgam kepemimpinan pemerintah era sebelumnya. Boleh jadi juga, hanya karena segelintir golongan yang sengaja mengkreasikan peta teror untuk menjatuhkan reputasi pemerintah lokal, bahkan pusat.
Untuk itu, sebagai perwakilan suara rakyat, pemerintah hendaknya segera mencari dan menemui pihak-pihak terkait untuk menyumbat aksi-aksi menggelisahkan tersebut. ini merupakan tugas utama yang tak bisa dinegasikan. Satu hal yang perlu digarisbawahi yakni jalan dialog adalah langkah tepat untuk mencari titik temu yang efektif menciptakan tatanan hidup yang damai dan tenteram.
Sudah selayaknya harapan untuk agar perdamaian di Aceh langgeng abadi hendaknya ditumbuhkembangkan di kedalaman hati segenap lapisan masyarakat negeri ini. Bahasa perdamaian adalah bahasa kasih yang akan mengundang keberaturan dan keadilan. Kearifan dan keseriusan untuk membangun Aceh adalah modalitas utama yang harus dikedepankan untuk merebuildisasi jalur-jalur dialogis yang sempat terputus. Jangan hanya karena noda setitik, memori kolektif kegemilangan Aceh masa lalu yang sarat akan penegakan hukum bersendikan keadilan dicederai dan dikubur hidup-hidup.
Oleh Johan Wahyudhi
Penulis adalah Sejarawan Muda

Adat dan Budaya Aceh Memprihatinkan

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural.

Budaya atau kebudayaan sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Adat dan Budaya Aceh sangat banyak namun pada saat ini masyarakat Aceh telah mulai meninggalkan Adat dan Budayanya sendiri itu bisa kita lihat maraknya pengikut pengikut Budaya luar dan telah mulai meninggalkan Adat Adat Aceh seperti Peusijuk, Petron Aneuk, Kenduri Blang, Kenduri Laot, Resepsi Pernikahan dan lain lain yang mulai dilakukan dengan gaya dan model model dari luar Belum lagi dengan cara bepakaian.
Pola kehidupan masyakarat Aceh yang mulai mengikuti arus perkembangan trend dunia barat pun mulai melupakan sisi adat dan budaya aceh sendiri, masyarakat aceh sudah mulai terjebak dalam arus budaya barat, pesatnya perkembangan informasi telah membawa masyarakat aceh mengikuti pola pikir dunia barat sehingga banyak generasi yang terjebak dengan pola pikir dan hidup dengan budaya barat.

Perubahan ini dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat aceh, organisasi organisasi islam pun saat ini mulai marak mengampanyekan anti budaya barat dan mengecam budaya barat, akan tetapi perubahan pemikiran generasi muda tidak mampu dibendung oleh organisasi organisasi islam tersebut sehingga budaya barat terus mengalir pada generasi muda aceh.
Adat dan Budaya Aceh sendiri pada saat ini telah dianggap sebagai budaya kampungan didalam pemikiran para generasi, sehingga ketika mereka berbondong bondong mengikuti budaya barat yang telah terlanjur menjadi trend dalam kehidupan generasi aceh. Pada saat ini tidak sedikit budaya kita yang mulai ditinggalkan oleh generasi Aceh, hal ini tentunya sangat berkaiatan dengan pengaruh budaya luar seperti contohnya cara berpakaian dan sampai jenis jenis makanan pun sudah mulai kita tinggalkan yang berbentuk khas aceh maupun yang lainnya.

Tanpa kita sadari suatu saat kita akan menjadi generasi yang lupa pada adat dan budaya kita sendiri sehingga kita lupa pada kehidupan bersyariat yang merupakan kehidupan masyarakat aceh saat ini. Provinsi aceh yang terkenal pada sebuah provinsi dengan penegakan syariat islam juga tidak sanggup menahan masuknya budaya luar ke daerah ini, sehingga penegakan syariat islam selalu disangkut pautkan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh beberapa orang, tapi sebenarnya apa peduli kita terhadap mereka, bukankah kita masyarakat aceh telah menyetujui tentang kehidupan yang landaskan syariat islam di provinsi aceh, jadi segala bentuk kehidupan yang bertolak belakang dengan syariat islam harus di basmi oleh pemerintah maupun masyarakat aceh yang harus ikut andil dalam menjaga provinsi aceh untuk tetap menjadi sebuah negeri yang berlandaskan syariat islam.

Akhir akhir ini setelah perdamaian akibat konflik bersenjata di aceh, budaya luar telah mulai mengakar dan menguasai generasi aceh dan generasi aceh seakan akan menerimanya dengan senang hati pada kondisi ini, padahal mereka telah lupa bahwa budaya tersebut sangat bertolak belakang dengan agama yang mereka anut yaitu “Islam” dan sangat bertolak belakang dengan syariat islam yang telah di berlakukan di aceh pada saat ini, pemberlakuan syariat islam di aceh juga pada saat ini tak mampu membendung masuknya budaya luar di aceh, disebabkan kuatnya pengaruh budaya luar di aceh kepada generasi muda.
Apakah kita akan kehilangan Adat dan Budaya Aceh yang sudah diwariskan oleh nenek nenek moyang kita terdahulu, yang merupakan sebuah Adat dan Budaya sesuai dengan kondisi Aceh yaitu “Syariat Islam”.

Hanya kita para generasi aceh yang mampu menjawab kondisi yang sangat memprihatinkan ini, karena tentunya kaum muda punya peran penting untuk tetap menjaga Adat dan Budaya aceh agar tidak hilang pada generasi mendatang dan tetap menjadi pegangan dalam kehidupan para generasi Aceh. (Sumber)

Pawai Berpakaian Adat Aceh

Pawai keliling kota dengan berpakaian Adat dan Suku di Aceh, dari pakaian Adat Sabang hingga pakaian Adat Singkil di acara Pekan Kebudayaan Aceh.























 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wisata Aceh - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger