Oleh Fadhlina H.S - Profil perempuan Aceh dalam sejarah patut
dijadikan bahan kontemplasi berharga. Peran aktif perempuan di masa
lalu telah mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di abad ini.
Ini dapat dibuktikan dari perjuangan perempuan Aceh dalam melawan
kolonialisme. Begitu dominanya peran aktif perempuan dalam kemiliteran
dan politik, sehingga dikenal di mata internasional.
Perempuan Aceh yang namanya diabadikan sebagai investasi histories.
Menduduki posisi sentral sebagai pemimpin negara, anggota parlemen dan
perancang strategis militer Aceh dalam konstelasi negara berdaulat.
Tokoh-tokoh seperti halnya Keumalahayati, Tengku Fakinah, Cut Nyak
Dhien, Cut Meutia, dan sederet tokoh lainnya (Puteh, 2002: 10).
Aceh Serambi Mekah, menyimpan banyak ukiran nilai sejarah yang
menghiasi lembaran buku klasik dan modern. Kita bisa mendapatinya di
museum meuseum, baik skala nasional maupun internasional. Ini menjadi
bukti otentik dan faktual, kejayaan Aceh dahulu. Bila dikaji secara
komprehensif, banyak hal yang menarik berkenaan dengan perempuan Aceh,
baik ditinjau dari sisi kepahlawanan maupun dari sisi kenegarawan
(kepemimpinan).
Aceh sebagai wilayah kerajaan Islam pertama di Indonesia, melibatkan
perempuan dalam pembangunan. Keterlibatan itu tidak hanya di
pemerintahan, tetapi juga di barisan militer. Bahkan ada perempuan yang
dinobatkan sebagai komandan perang Aceh melawan Belanda. Di dalam
barisan birokrat perempuan Aceh juga diposisikan sebagai sosok
negarawan. Pelajari saja dalam sejarah kerajaan Aceh yang ikut dipimpin
oleh perempuan. Kita ingat beberapa nama itu seperti, Sri Al-Sulthanah
Tajul al-‘Alam Safiat al-Din Syah Johan berdaulat Hukm Zill-Illahi fi al-‘Alam (1050-1086 H/1641-1675 M). Kedua, Sri Al-Sulthanah Nur al-‘Alam Naqiyyah al-Din Syah Johan berdaulat Hukm Zill-Illahi fi al-‘Alam (1086-1088 H/1675-1678 M). Ketiga, Sri Sulthanah Zakqiyyat al-Din Syah Johan berdaulat Hukm Zill-Illahi fi al-‘Alam (1088-1098 H/ 1678-1688 M). Ke empat, Sri Sulthanah Keumalat al-Din Syah Johan berdaulat Hukm Zill-Illahi fi al-‘Alam
(1098-1109 H/1688-1699 M), (Hasjmy, 1976: 32). Bukti-bukti bahwa
kerajaan Aceh yang berazas Islam, memandang sama hak dan kewajiban
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat bangsa dan masyrakat dunia,
perbedaan hanya terletak pada ketakwaan.
Selain memperoleh predikat dan berkedudukan sebagai ratu, sebagaian
perempuan Aceh juga aktif dalam parlemen, pada masa kerajaan Ratu
Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat yang sekarang disebut sebagai
DPR/MPR, mengadakan perombakan perombakan susunan anggota Badan
Legislatif yang terdiri dari 73 orang, dan di dalamnya ditempatkan
beberapa orang perempuan. Mereka ikut serta dalam majelis untuk
bersama-sama dengan kaum laki-laki mengatur urusan Negara dalam rangka
mempertimbangkan kebijakan-kebijakan Sulthanah dan meneliti adat dan
hukum yang layak supaya keadilan, kemakmuran, dan kesentosaan serta
kedamaian dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.
Peran perempuan di saat itu, merupakan satu keharusan bagi
terwujudnya keadilan. Keadilan ini bisa jadi keadilan terhadap perempuan
dan laki-laki. Alasan lain mengapa perempuan didudukkan dalam parlemen
agar segala kebijakan yang akan ditentukan nantinya tidak menginjak
hak-hak perempuan. Adapun nama-nama anggota parlemen peremepuan tersebut
adalah: Si Nyak Bunga, Si Halifah, Si Maimunah, Si Sanah, Siti Cahya,
Mahkiah, Si Nyak Puan, Nadisah, Si Nyak Ti Cahya, Umi Puan, Siti Awan,
Umi Nyak Angka, Maina Thalib, dan Si Habibah (Puteh, 2002: 14).
Sejarah juga mencatat kecermelangan eksistensi perempuan Aceh semakin
terlihat dalam skop universal, dimana perannya sertanya menjadi pejuang
dengan jabatan panglima perang seperti Laksamana Malahayati yang
menjadi perempuan pertama yang menduduki tingkat elit angkatan
bersenjata, dia menjadi Laksamana kapal-kapal laut kerajaan Aceh. Ini
membuktikan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam peran publik. Dimana
relasi gender tercipta sangat harmonis dan tidak menjadi penghalang bagi
perempuan Aceh untuk berkiprah dalam ranah publik.
Potret perempuan Aceh masa lalu yang telah berhasil mendobrak
dominasi laki-laki dalam ruang publik dan perjuangan, selayaknya menjadi
bahan renungan dan catatan besar bagi rakyat Aceh di zaman demokrasi.
Keterlibatan perempuan dalam semua bidang di masa lalu telah
mengangkat harkat dan martabat perempuan perempuan Aceh. Ini bukti bahwa
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah dimulai di Aceh jauh
sebeum slogan “emansipasi perempuan” atau “gender “ berkembang di tengah
kehidupan modern. Baik aspek politik, pendidikan, militer, agama,
social dan budaya, ini menjadi bukti bahwa rakyak Aceh sudah jauh lebih
maju dalam tingkat berfikirnya. Dan ini diakui oleh seluruh pihak baik
lokal, nasional maupun internasional.
Perempuan Aceh hadir di tengah masyarakat dengan segala bidang dan
keahliannya. Mereka dibesarkan oleh kultur dan budaya, dengan segala
keistimewaan yang disandang, namun sangat disayangkan bila dalam
kehidupan modern ini peran dan posisi perempuan tidak seperti yang
terukir dalam sejarah. Apalagi bila ini lebih mundur dari yang pernah
ada. Ini tampak dalam perkembangan peran perempuan Aceh yang dulunya
dominan, baik dalam konteks domestik maupun publik.
Perempuan Aceh yang dikenal berani, tegar, tegas dan unik dengan
identitas budayanya memang tidak perlu diragukan lagi, namun kini, perlu
upaya revitalisasi terhadap peran perempuan dengan melakukan beberapa
strategi pendekatan dalam upaya mengembalikan ruh perempuan Aceh.
Pertama, mengkaji ulang tentang pemahaman syariat
yang mendiskriminasi perempuan, tidak hanya terbatas pada pemahaman
tekstual. Islam adalah agama rahmatan lil’alamin menjadi kehidupan lebih
baik bukan mengekang kreatifitas umat khususnya perempuan. Karena
persoalan yang muncul akibat politisasi syariat Islam, menimbulkan kesan
Islam melarang perempuan menjadi pemimpin. Padahal pada konsepnya Islam
mengajarkan kesetaraan. Kondisi idealnya masih sangat jauh dari harapan
akibat senjangnya political will untuk akses yang sama terhadap
peran-peran perempuan terutama untuk akses strategis.
Kedua, isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
perlu dipahami sebagai sebuah upaya pendekatan dalam menyelesaikan
persoalan ketidakadilan, mengkaji ulang akar persoalan ketidakadilan
gender yang disebabkan oleh budaya yang telah mengekang kedudukan dan
peran perempuan, interpretasi agama, dan berbagai kebijakan pemerintah
yang tidak memihak terhadap perempuan.
Selanjutnya perlu adanya pendataan terhadap perempuan-perempuan yang
berpotensi dan melakukan perberdayaan agar potensi yang ada dapat
dimamfaatkan demi keberlansunggan peran danketerlibatan perempuan di
segala aspek. Perlu survey terhadap perempuan yang pernah mengikuti
pembekalan atau training gender dengan target melihat implementasi dari
hasil pembekalan yang mereka terima terhadap sesuatu yang mampu
dilakukan dalam upaya pemberdayaan perempuan.
Upaya –upayan ini salah satu cara untuk penyeimbangan kembali
kehidupan antara laki-laki dan perempuan dalam kedudukan, posisi dan
peran d itengah masyarakat. Dengan harapan perempuan Aceh akan kembali
mengukir kesuksesan dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban Aceh
masa mendatang. Yakinlah, bahwa perempuan adalah asset besar bagi Aceh
dan bangsa ini.[]
*Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjan IAIN Ar Raniry, Berdomisili di Ilie Ulee Kareng, Banda Aceh
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !