Ama Mala, Ine Mala dan Mala terlibat
perbincangan serius. Ama (ayah) mengutarakan keinginannya untuk
bergabung dengan kelompok pejuang untuk melawan penjajah Belanda.
Sementara itu, Ine (ibu) melarang Ama ikut berjuang karena umurnya
yang sudah tua, namun Ama tetap pada tekadnya bergabung dengan pejuang.
Mala, anak semata wayang Ama dan Ine yang baru beranjak dewasa, hanya
bisa menangis.
Dalam sebuah pertempuran antara pejuang Aceh dengan Belanda, Ama pun
tewas, selanjutnya Mala yang telah dewasa ingin meneruskan perjuangan
Amanya. Namun, saat Mala hendak bergabung dengan kelompok pejuang,
pasukan Belanda yang dipimpin Gotfried Coenraad Ernst van Daalen datang
ke perkampungan Kuta Reh dan membunuh hampir 3.000 penduduk setempat.
Hanya satu orang anak yang tersisa dalam pembantaian tersebut yang
kemudian bergabung dengan Cut Nyak Dhien, dan mendampingi perempuan
tersebut hingga meninggal ditawan Belanda.
Lakon tersebut dikisahkan di atas panggung di Taman Budaya Kota Banda
Aceh, Selasa pekan lalu. Sutradara Drama Kuta Reh, Gayo, Mustika
Permana mengaku drama tersebut sengaja dibuat untuk mengingatkan pernah
terjadi pembantaian sadis oleh tentara Belanda di tanah Gayo tepatnya di
Kuta Reh Kabupaten Gayo Lues.
Pembantaian Kuta Reh terjadi pada 14 Juni 1904 di Kuta Reh, Gayo.
Pembantaian menyebabkan 2.922 warga dibunuh, terdiri dari 1.773
laki-laki dan 1.149 perempuan. Tapi, menurut catatan Kempes dan
Zentgraaff, korban pembantaian itu mencapai 4.000 orang.
Menaklukkan Aceh
Pembantaian di Kuta Reh itu bermula dari keinginan Gubernur Militer
Belanda di Aceh, Van Huetsz, untuk menaklukkan seluruh Aceh setelah raja
Aceh Sulthan Muhammad Daud Syah menyerah pada 1903. Ia memerintahkan
Gotfried Coenraad Ernst van Daalen untuk menyerang daerah Gayo Lues pada
1904.
Keberingasan maréchaussée atau marsose itu berdampak pada
penyerangan-penyerangan selanjutnya ke berbagai daerah operasi. Mereka
menjadi pasukan yang di luar kendali dan bertindak brutal. Mulai dari
penyerangan ke Gayo Laut, Gayo Deret, sampai kemudian Van Daalen dan
pasukannya pada 9 Maret 1904 menyerang Gampong Kela, sebuah daerah
terpencil di Gayo Lues pada masa itu.
Mulai dari kampung itulah penaklukan demi penaklukan dilakukan Van
Daalen, dimulai dari benteng pasir pada 16 Maret 1904, Gemuyung pada 18,
19 dan 20 Maret 1904, Durin pada 22 Maret 1904, Badak pada 4 April
1904, Rikit Gaib pada 21 April 1904, Penosan pada 11 Mei 1904 dan
Tampeng pada 18 Mei 1904.
Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan
akhirnya dibunuh. Menurut catatan Keempes dan Zentegraaf, hampir 2.922
rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting,
Aman Jata, H Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen Manyak Tri, dan Dimus.
“Tapi, tidak semua orang tahu pernah terjadi pembantaian di tanah
Gayo. Pembantaian tersebut diketahui karena ada dokumentasi berupa foto
setelah tentara Belanda selesai membantai warga di Kuta Reh,” tutur
Mustika.
Tidak hanya warga Aceh atau Indonesia, warga Gayo sendiri sudah tidak
banyak yang tahu pernah terjadi pembantaian ribuan warga sipil saat
penjajahan Belanda tersebut. “Sebagian besar orang telah melupakan
kejadian itu,” ujar Mustika.
Gugat Belanda
Warga Aceh yang bermukim di Swedia juga pernah menggugat pemerintah
Belanda terkait pembantaian Kuta Reh, Gayo, di masa Perang Aceh. Gugatan
tersebut terinspirasi dari putusan Pengadilan Den Haag yang menyatakan
pemerintah Belanda bersalah dan harus memberi kompensasi pada korban
pembantaian di Rawagede.
Keputusan itu menjadi preseden baik bagi korban kejahatan perang
Belanda lainnya: bahwa kejahatan hak asasi manusia tidak terikat waktu.
Salah satunya, Aceh. “Kawan-kawan di sini merasa kemenangan Rawagede
sebagai keuntungan bagi Aceh dan juga menambah semangat untuk menuntut
keadilan,” kata aktivis Aceh di Swedia, Asnawi Ali.
"Tragedi Kuta Reh oleh sebagian rakyat Belanda juga masih dikenang sebagai sesuatu yang keji dan sadis"
Warga Aceh akan bekerja sama dengan mitra hukum di Belanda. Mereka
optimistis, meski pembantaian tersebut terjadi jauh sebelum tragedi
Rawagede.
“Perlu digarisbawahi bahwa Aceh dulu berperang melawan Belanda.
Perang Aceh itu merupakan yang terpanjang. Meskipun sudah lama, anak
cucu korban masih menuntut keadilan. Salah satunya adalah cucu Raja Aceh
yang masih hidup,” kata Asnawi. Selain itu, mereka yakin dengan
keobjektifan penegak hukum, terutama pengadilan di Belanda.
Menurut Asnawi, gugatan atas tragedi Kuta Reh sebenarnya bukan hal
baru. Gugatan tersebut pernah dilakukan beberapa tahun silam, tapi gagal
dengan alasan kedaluwarsa.
Namun, apa yang terjadi dalam proses hukum tragedi Rawagede membuat
apa yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu hendak diulangi lagi.
Alasan kedaluwarsa ternyata ditolak majelis hakim Pengadilan Sipil Den
Haag karena sifatnya yang khusus.
“Tragedi Kuta Reh oleh sebagian rakyat Belanda juga masih dikenang
sebagai sesuatu yang keji dan sadis. Tragedi tersebut terdokumentasi
dengan baik dalam wujud foto yang dipublikasikan pada 1905 dan oleh
sebagian rakyat Belanda dinilai sebagai wajah kolonialisme secara
keseluruhan di Indonesia. Sebagian lagi menilai foto tersebut hanyalah
sebagai perkecualian.
Namun, secara umum, hal tersebut memperlihatkan adanya pembunuhan
massal di era Perang Aceh yang cukup panjang dan melelahkan bagi
Belanda,” ujarnya. (Junaidi Hanafiah/Sinar Harapan)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !