Oleh: Pramono
Sumatera, khususnya Aceh dan Sumatera Barat merupakan wilayah penting tempat asal (sumber) naskah kuno di Indonesia.
Di wilayah ini banyak ditemukan skriptorium sebagai pusat
kecendekiaan orang-orang Sumatera ratusan tahun yang lalu. Naskah yang
ditulis di Aceh juga banyak ditemukan di Sumatera Barat. Selain sudah
banyak yang sudah menyeberang ke berbagai penjuru dunia, ribuan naskah
kuno masih tersebar di tangan masyarakat di Pulau Andalas ini. Selain
itu, dalam jumlah yang jauh lebih kecil naskah kuno di wilayah tersebut
juga tersimpan di berbagai perpustakaan dan museum di masing-masing
provinsi.
Sayangnya, kondisi ribuan naskah kuno yang masih tersebar di tangan
masyarakat itu sudah banyak yang rusak atau mendekati kerusakan. Banyak
faktor yang menyebabkan kerusakan itu terjadi, terutama faktor sikap
pemilik naskah, umur naskah, cuaca dan bencana alam. Faktor lain yang
juga sangat mengancam keberadaan naskah-naskah kuno itu adalah adanya
praktik perdagangan naskah.
Ribuan naskah kuno yang mengandung teks yang beragam, seperti
keagamaan, kesejarahan, kesenian, kesusastraan, politik, hukum,
adat-istiadat, dan folklor belum terkelola secara baik. Kondisi tersebut
diperparah dengan kebiasaan para peneliti naskah kuno di Indonesia yang
sampai saat ini masih banyak yang lebih mementingkan kajian teks atau
isinya. Persoalan yang berkaitan dengan preservasi dan konservasi
naskah kuno lebih sering terabaikan.
Bukankah sumber naskah kuno hanya dapat diacu apabila sumber itu
telah dilestarikan dan diselamatkan? Dengan kata lain, penelitian
terhadap naskah kuno baru dapat dilakukan apabila kondisi fisik maupun
tulisan tidak mengalami kerusakan. Bagaimanapun juga naskah-naskah kuno
merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi
pemahaman dan pengembangan sejarah dan keilmuan.
"baik di Sumatera Barat maupun di Aceh, saat ini sudah banyak saja masyarakat pemilik naskah kuno yang bisa memperbaiki naskah-naskah kuno yang rusak serta tahu cara pemeliharaannya"
Sebagai warisan budaya tertulis, naskah-naskah kuno merupakan
khazanah budaya yang penting baik secara akademis maupun sosial budaya.
Secara akademis melalui naskah-naskah itu dapat diungkap nilai-nilai
yang relevan dengan kehidupan sekarang. Secara sosial budaya,
naskah-naskah itu merupakan identitas, kebanggaan dan warisan yang
berharga. Naskah merupakan hasil kegiatan intelektual dalam masyarakat
tradisional (local genius).
Dengan demikian, sebenarnya naskah kuno dapat dikelola dan
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat luas. Hal ini mengingat bahwa dewasa ini peradaban umat
manusia telah memasuki peradaban yang lazim disebut dengan Era Ekonomi
Kreatif. Di era ini kebudayaan dapat menjadi sebuah deposit mata tambang
yang baru jika dikelola secara baik (PaEni, 2009). Kesejahteraan dalam
konteks ini tidak hanya selalu diartikan sebagai pemenuhan dan
peningkatan perekonomian semata, tetapi bisa dimaknai sebagai
kesejahteraan untuk pemenuhan kebutuhan akan informasi dan ilmu
pengetahuan.
Dalam konteks penyelamatan naskah-naskah kuno di Sumatera Barat dan
Aceh, Jepang adalah salah satu negara yang intens dan signifikan dalam
memberikan bantuan, baik bantuan teknis maupun nonteknis. Dari bantuan
pihak Jepang lah, terbit tiga katalog naskah-naskah kuno yang terdapat
di Sumatera Barat dan Aceh. Melalui bantuan Centre for Documentation and
Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign
Studies (TUFS), Jepang, pada 2006 terbit Katalogus Manuskrip dan
Skriptorium Minangkabau yang memuat deskripsi 280 naskah kuno
Minangkabau, disusul Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh pada 2007 yang
memuat deskripsi 232 naskah kuno koleksi Yayasan Pendidikan dan Museum
Ali Hasjmy (YPAH), Aceh dan pada 2010 terbit pula Katalog Naskah Tanoh
Abee, Aceh Besar yang berisi deskripsi 280 naskah kuno koleksi Dayah
Tanoh Abeh.
Selain bantuan dalam penerbitan katalog, pihak Jepang juga beberapa
kali mengadakan pelatihan konservasi naskah kuno, baik di Padang (pada
2010 dan 2011) maupun di Banda Aceh (pada 2007 dan 2011). Dalam
pelatihan tersebut dihadirkan dua ahli dari Arsip Nasional Jepang, yakni
Bapak Itaru Aritomo dan Ibu Ikuko Nakajima. Kedua ahli ini mengajarkan
cara memperbaiki naskah-naskah kuno yang rusak, meliputi tsukuroi dan
urauchi (teknik penambalan kertas naskah yang sobek dengan menggunakan
kertas washi), pembersihan naskah dari jamur, penjilidan dan pembuatan
kotak penyimpanan naskah kuno dari bahan kertas yang tidak mengandung
zat asam.
Semua peralatan dan perlengkapan didatangkan langsung dari Jepang
untuk keperluan pelatihan. Pelatihan ini diikuti oleh mahasiswa,
peneliti naskah dan sebagian besar para pemilik naskah kuno. Dengan
demikian, baik di Sumatera Barat maupun di Aceh, saat ini sudah banyak
saja masyarakat pemilik naskah kuno yang bisa memperbaiki naskah-naskah
kuno yang rusak serta tahu cara pemeliharaannya.
Selain itu, beberapa intitusi di Jepang seperti Agency for Cultural
Affairs Japan, Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), National
Archives of Japan, National Research Institute for Cultural Properties
(NRICP), Tokyo dan Japan Foundation mengundang beberapa orang dari
Padang dan Aceh untuk mengikuti pelatihan konservasi naskah kuno di
Jepang. Misalnya, pada 2008, dua orang staf Museum Aceh, Yudi Andika dan
Rini Rofini diundang ke Jepang selama kurang lebih dua bulan untuk
mengikuti pelatihan konservasi naskah kuno di Arsip Nasional Jepang di
bawah bimbingan Bapak Itaru Aritomo dan Ibu Ikuko Nakajima.
Masih dalam bimbingan kedua ahli ini, pada saat ini (9 Mei–22 Juni
2012) juga sedang dilatih dua orang dari Padang dan dua orang dari Banda
Aceh. Dari Padang, yang mendapat kesempatan mengikuti pelatihan
tersebut adalah saya sendiri dan Suhirman (staf Badan Perpustakaan dan
Kearsipan Provinsi Sumatera Barat). Adapun dari Aceh adalah Mujiburahman
dan Salman, keduanya adalah dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan juga
aktivis Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh.
Keseriusan pihak Jepang tersebut sudah mestinya diapresiasi oleh
pemerintah daerah, baik Sumatera Barat maupun Aceh. Benar bahwa sudah
ada kepedulian kedua pemerintah daerah dalam upaya pelestarian dan
penyelamatan naskah-naskah kuno.
Pemda Sumatera Barat, semenjak tahun 2008 sudah menganggarkan dana
yang dikelola Badan Perpustakaan dan Kearsipan nya melalui kegiatan
Alih Media Naskah Kuno. Akan tetapi, agaknya besaran alokasi dananya
jauh dari ideal, hanya berkisar 150 juta setiap tahunnya. Agak berbeda
dengan Aceh, pascagempa dan Tsunami tahun 2004, dengan pendanaan Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) berhasil mengumpulkan 2000-an
naskah kuno yang saat ini tersimpan di Museum Aceh.
Pemda Aceh sendiri sejak 2008 mengalokasikan dana sebesar 400 juta
untuk konservasi naskah kuno yang dikelola PKPM Aceh setiap tahunnya.
Besaran alokasi ini belum termasuk alokasi dana yang disediakan untuk
museum nya yang juga untuk kegiatan penyelaman naskah-naskah kuno.
Dengan ribuan naskah kuno yang masih tersebar di tengah masyarakatnya,
jumlah dana yang dialokasikan pun masih belum mencukupi.
Di Sumatera Barat juga terdapat seribuan naskah kuno yang masih
tersebar dan dikoleksi masyarakat secara pribadi dan kaum. Dengan
demikian, Pemda Sumbar sudah selayaknya mengkaji ulang kebijakan
pengalokasian dana untuk penyelamatan kekayaan khazanah budaya
tertulisnya. Selain itu, Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Sumatera Barat juga harus memikirkan untuk merekrut pegawai yang
memiliki kompetensi di bidang pernaskahan. Salah satunya adalah dengan
memberi kesempatan alumni Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas untuk mengabdi di instansi
tersebut. Hal ini karena alumni prodi ini banyak yang memiliki
kompetensi bidang pernaskahan, baik kompetensi digitalisasi,
katalogisasi dan penelitian isi naskah-naskah kuno Minangkabau. (Padang Ekspres)
*Penulis: Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
*Penulis: Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !