Bagi
masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil, Propinsi Aceh, melaksanakan
Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari bukanlah hal baru, tetapi
sudah dipraktekkan sejak 300 tahun lalu.
Masyarakat di wilayah pesisir pantai selatan Aceh itu melaksanakan
Syariat Islam setelah mereka mempelajari ajaran Islam yang dikembangkan
dua ulama besar, Syekh Abdurrauf As-Singkili dan Syekh Hamzah Fansuri.
Bupati Kabupaten Aceh Singkil, H Makmursyah Putra mengatakan,
kehadiran kedua ulama besar dari jazirah Arab itu telah berhasil
menyadarkan masyarakat dengan menjadikan Syariat Islam sebagai pedoman
dalam mengharungi hidup.
Adat-istiadat (budaya) yang berkembang di masyarakat Aceh Singkil
kini, mulai dari sunah rasul (khitanan) dan adat perkawinan hingga turun
tanah anak bayi (“cuko ok” sebutan di Aceh) semuanya berakar dari
ajaran Islam.
Ia menyebutkan contoh adat perkawinan. Bagi pengantin wanita sebelum
melangsungkan akad nikah terlebih dahulu diuji kemampuan membaca
Al-Quran secara benar (dalam adat masyarakat Aceh Singkil disebut malam
khatam Al-Quran).
Dari tradisi itu telah menggugahkan semua generasi muda di daerah ini
(perempuan dan laki-laki) untuk belajar agar mampu membaca Al-Quran
karena mereka khawatir ditunda akad nikah menjelang pesta adat
perkawinan nanti.
Identitas Islam lainnya juga terlihat dari cara kaum wanita di Aceh
Singkil berpakaian sehari-hari, termasuk anak baru gede (ABG), yakni
merasa kurang percaya diri (pede) keluar rumah sebelum mengenakan
pakaian muslimah.
Aceh Singkil yang memiliki luas 3.964 Km persegi dengan penduduk
112.556 jiwa itu memperoleh peningkatan status menjadi Kabupaten April
1999, setelah sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Aceh Selatan.
“Yang menarik, meskipun wilayah Singkil dihuni berbagai suku di
Sumatera, seperti Alas, Fak-fak, Aceh, Nias, Padang, Melayu dan Batak,
namun 97 persen mereka menganut Islam,” kata Makmursyah Putra.
Pembauran tujuh suku bangsa di wilayah itu bukan saja ikut
mempengaruhi adat dan budaya, tetapi juga telah melahirkan bahasa yang
berbeda dengan masyarakat di Aceh lainnya, lebih dominan digunakan
bahasa Singkil serumpun–Alas dan Fak-fak serta bahasa pesisir mirip
Minang.
“Dari pembauran etnis itu juga telah melahirkan gaya dielek masyarakat Aceh Singkil yang khas,” katanya.
Tidak Pede tanpa Jilbab
Gubernur Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam waktu itu, -red) H Abdullah
Puteh pada awal tahun 2002 telah mengumumkan diberlakukan Syariat Islam
di seluruh wilayah daerah itu bertepatan diberlakukannya otonomi khusu
yang tertuang dalam UU Nomor.18/2001.
Dasar lain yang mewajibkan masyarakat untuk di wilayah ujing paling
Indonesia itu melaksanakan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari,
setelah pemerintah pusat menerbitkan UU Nomor.44 tahun 1999 tentang
pengisian tiga “Keistimewaan Aceh”.
Sebelumnya, masyarakat Aceh telah puluhan tahun memperoleh gelar tiga
“Istimewa”, yakni di bidang Agama (Islam), pendidikan dan
adat-istiadat, namun kenyataan sehari-hari tidak terasa perbedaannya
dengan daerah lain di Indonesia.
“Kita harus bersyukur, Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang
dibenarkan pemerintah pusat melaksanakan Syariat Islam secara kaffah,”
kata Abdullah Puteh.
Pemandangan di Aceh saat ini, sebagian besar kaum perempuan muslim
telah menyahutinya ditandai meningkatnya kesadaran mereka, terutama cara
berpakaian mulai terbiasa mengenakan pakaian muslimah, berbeda dengan
sebelumnya.
Meskipun pemandangan pakaian ketat masih menjadi tradisi kaum
perempuan muda di Aceh, namun secara perlahan-lahan mereka mulai tidak
berani lagi tampil di hadapan umum, jika tidak menutup kepala
(berjilbab).
Kenyataan itu terlihat, kini tidak ada lagi pelajar wanita, baik
tingkat SLTP, SLTA maupun mahasiswa yang tidak menutup kepala di
kampus–walaupun sekolah umum, kecuali bagi anak wanita non-muslim.
Tak Dapat Ditawar
Seorang wanita Aceh Singkil yang tergabung dalam Majelis Taklim, Ny
Wardiyah (45) mengatakan, bagi kaum perempuan di daerahnya, pengalaman
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sudah dilkaukan secara
turun-temurun.
"Yang jelas, Syariat Islam sudah menghiasi kehidupan sehari hari masyarakat Aceh Singkil, mulai duduk-berdiri, tidur-bangun, makam-minum, cara berpakaian, jual-beli, berkomunikasi hingga menghias diri"
Ketaatan masyarakat di Aceh Singkil terhadap ajaran Islam, termasuk
kaum perempuan, tidak perlu diragukan lagi, seperti menghadiri pesta
perkawinan (alek baik) dan melayat setiap keluarga yang meninggal dunia
(alek buruk).
“Yang lebih kental lagi dalam hal pembagian harta warisan akan selalu
berpedoman kepada ajaran Islam (Al-Quran dan Hadits nabi),” kata
Mandewar–panggilan akrab Ny. Wardiyah.
Penduduk Aceh Singkil saat ini boleh dikatakan semuanya pemuluk
ajaran Islam (97 persen), selebihnya mereka menganut Agama Kristen,
namun mereka tetap hidup rukun dalam suatu bingkai pergaulan saling
menghormati.
Tempo dulu, Singkil yang memiliki kerajaan-kerajaan kecil yang sebar
mulai dari timur (berbatasan dengan Kerajaan Barus-Tapanuli Tengan,
Sumut) hingga ke utara Mancopa atau Daya (Meulaboh, Aceh Barat) semuanya
menganut ajaran Islam.
Masyarakat Aceh Singkil hingga kini tetap mengikuti suri teladan
pemimpin regilius mereka (Syekh Abdurrauf As-Singklil dan Syekh Hamzah
Fansuri) sebagai pemodanan dalam segela aspek hidup dan kehidupan mereka
sehari-hari.
Ajaran Islam yang tumbuh berakar di kalangan masyarakat Aceh Singkil
tidak hanya mempelajari Islam sebagai aqidah dan ajaran semata, tetapi
juga mempelajari Islam sebagai sebuah organisasi menguasai gerak dan
diamnya seorang muslim, yakni menguasai jalan pikiran, niatnya,
perkataan, perbuatan serta hidup qaib dan hidup nyata.
“Yang jelas, Syariat Islam sudah menghiasi kehidupan sehari hari
masyarakat Aceh Singkil, mulai duduk-berdiri, tidur-bangun, makam-minum,
cara berpakaian, jual-beli, berkomunikasi hingga menghias diri,” kata
Mandewar.
Pendekatan regilius dalam kehidupan sehari-hari di Aceh Singkil tidak
radikal, tetapi sangat demokrat sehingga ajaran Islam dapat diterima
dan saling menghormati dengan ajaran agam lain mengikuti jejak ulama
sebelumnya.
Menurut Mandewar, dalam tradisi masyarakat di wilayah Aceh Singkil
sejak dulu hingga saat ini, doktrin bahwa aqidah mempercayai dan
mengamalkan ajaran Islam merupakan keputusan final yang tidak dapat
ditawar-tawarkan lagi. (Syahruddin Hamzah, Ant/Gatra)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !