Headlines News:

Penerbangan

Written By T Noval Ariandi on Tuesday 19 June 2012 | 07:41

Batavia Air

Batavia Air

Untuk keterangan lebih lanjut harap kunjungi website resmi Batavia Air.



Fax
:
(62-21) 3864486

Kontak
:
(62-21) 3864308


Merpati Nusantara Airlines

Merpati Nusantara Airlines

Untuk keterangan lebih lanjut harap kunjungi website resmi Merpati Nusantara.


Fax
:
(+62 21) 6540620

Kontak
:
(+62 21) 6548888 


Sriwijaya Air

Sriwijaya Air

Untuk keterangan lebih lanjut harap kunjungi website resmi Sriwijaya Air.


Fax
:
-

Kontak
:
(62-21) 6396006 
Garuda Indonesia

Garuda Indonesia

Untuk keterangan lebih lanjut harap kunjungi website resmi Garuda Indonesia.



Fax
:
(+6221) 2351 9999

Kontak
:
(+6221) 2351 9999
(+6280) 4180 7807


Air Asia

Air Asia

Untuk keterangan lebih lanjut harap kunjungi website resmi Air Asia.



Fax
:
(+6221) 5050 5088

Kontak
:
(+6221) 5050 5088 


Lion Air

Lion Air

Untuk keterangan lebih lanjut harap kunjungi website resmi Lion Air.



Fax
:
(+6221) 633 5669

Kontak
:
(+6221) 633 8345
(+6221) 6379 8000
(+6221) 6387 1111
(+6280) 4177 8899
(+6281) 9222 9999
(+65) 6339 1922

 

Kopi Gayo Termahal di Dunia "Agro Aceh"


SUASANA di salah satu stand produsen dalam pameran kopi dunia ke-24 di Portland, Oregon, AS yang diselenggarakan Specialty Coffee Association of America (SCAA) selama empat hari, 19-22 April 2012. FOTO: SCAA

* Dalam Pameran Kopi di Oregon, AS
TAKENGON - Kopi asal dataran tinggi Gayo, jenis arabika menjadi kopi termahal di dunia pada 2011 lalu, mengalahkan produsen terbesar dunia, Brazil. Hal itu terungkap dalam pameran kopi dunia yang diselenggarakan organisasi Specialty Coffee Association of America (SCAA) di Portland, Oregon Convention Center, Amerika Serikat.
Perhelatan akbar itu diikuti produsen kopi dan ikutannya dari seluruh dunia, khususnya dari kawasan tropis, seperti Amerika Latin, benua hitam Afrika dan Asia. Para pengurus koperasi bidang perkopian Aceh Tengah dan Bener Meriah ikut meramaikan pameran kopi tersebut selama empat hari, 19 sampai 22 April 2012.
Ketua Forum Fair Trade Asia Pasifik, Mustawalad yang mengikuti pameran kopi di Oregon kepada Serambi Selasa (8/5) di Takengon mengatakan harga kopi Gayo merupakan yang termahal di AS, sehingga posisi pasar turun dari empat pada 2010 menjadi lima pada 2011.
“Meski peringkat kopi Gayo turun di pasar Amerika Serikat, namun jumlah yang dipasarkan meningkat 11 persen,” jelasnya. Dia menyebutkan, kopi Brazil atau Kolombia asal Amerika Latin hampir setengah harga dari kopi Gayo. Kopi Amerika Latin dibandrol 3,5 sampai 4 dolar AS/kg atau sekitar Rp 32.000 sampai Rp 37.000/kg.
Sedangkan kopi arabika Gayo 7,2 sampai 8 dolar AS/kg atau sekitar Rp 67.000 sampai Rp 74.000/kg. Dia menilai, kopi Gayo memiliki cita rasa khas dibandingkan dari negara lain, sehingga harganya lebih mahal. “Kopi Gayo merupakan kopi khusus (specialty) dengan skor cupping test di atas 80,” jelasnya.
Selain itu, sejumlah produsen kopi Gayo juga mendapat kontrak baru dari pembeli Amerika yang diperoleh saat ikut pameran di Oregon. “Koperasi asal Aceh Tengah dan Bener Meriah yang ikut dalam pameran itu, masing-masing membawa lima sampel bersertifikat Fair Trade dan Organik,” ujar Mustawalad.
Pameran SCAA yang bertujuan menjaga hubungan dengan pembeli di Amerika Serikat, sebagai penikmat kopi Gayo terbesar selain mendapatkan pembeli baru serta perkembangan kopi dunia, seperti mesin pengolahan hingga paking. “Dalam pameran itu, ada sekitar 350 stand dengan jumlah eksebitor (peserta) pameran sebanyak 775 peserta dari berbagai negara penghasil kopi,” pungkas Mustawalad.(Sumber)

"Agro Aceh" Produsen Kopi Gayo Ikut Pameran di AS

MedanBisnis – Redelong. Koperasi dari dataran tinggi Gayo akan mengikuti pameran kopi terbesar di dunia yang diadakan Specialty Coffee Association of America (SCAA) di Oregon Convention Center, Portland, Oregon, Amerika Serikat (AS). Pameran diadakan selama tiga hari, mulai tanggal 19 hingga 21 April 2012.
Untuk tahun 2012 ini, yang ikut langsung dalam pameran tersebut adalah Iwan Rahmat dari APKO, Shalat dan Aulian dari GLOC, serta Armiya dari Permata Gayo. Sementara utusan dari Asosiasi Producers Fair Trade Indonesia dan Forum Kopi Fair Trade Asia Pasifik adalah Mustawalad yang menjabat ketua organisasi tersebut.

"Agenda SCAA adalah pelaksanaan pameran kopi dan pameran peralatan yang berhubungan dengan kopi, simposium dan barista," jelas Mustawalad, Senin (16/4).

Dia menambahkan, pameran kopi terbesar ini juga akan dihadiri eksportir kopi Gayo seperti CV Ujang Jaya, GLOC dan Permata Gayo.

Produser kopi dari Gayo akan membuka dua booth (stand), yakni stand untuk pasar internasional dan stand untuk pasar AS. Pasar AS dibantu Fair Trade USA yang akan dikoordinir Armiya dan tiga koperasi yaitu APKO, GLOC serta Permata Gayo.

"Dan untuk pasar yang lebih luas seperti Eropa, Asia dan Amerika sendiri, stand kopi Gayo bersama Fair Trade International, dimana lokasi kedua stand tersebut tidak terlalu berjauhan," tambah Mustawalad.

Dijelaskan lagi, sampel untuk kebutuhan pameran ini berasal dari koperasi-koperasi yang telah memiliki sertifikat fair trade dan organik. Koperasi di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang memiliki sertifikat tersebut yakni Koperasi Ketiara, Adil Wiladah Mabrur, Kopi Gayo Organik (KKGO), Bies Utama, Sara Ate, Arinagata, Askogo, Tunas Indah, Asosiasi Petani Kopi Organik (APKO), Gayo Linge Organic Coffee (GLOC), Gayo Mandiri dan koperasi Permata Gayo.

"Bagi produser kopi Gayo, ini merupakan kesempatan yang sangat penting karena Amerika merupakan pasar utama kopi Gayo. Pada tahun 2010 kopi Gayo yang bersertifikat fair trade dan organik menempati urutan kopi keempat yang dijual di pasar Amerika," jelas Mustawalad.

Dalam pameran kopi ini, petani atau produser kopi dapat bertatap muka langsung dengan penikmat kopi, yakni mereka yang sebelumnya telah membeli kopi dari importir di AS. "Harapan kita adalah, ini dapat membuka lebih luas akses pasar untuk kopi Gayo baik itu di Amerika Serikat dan negara Eropa serta pasar baru di Asia," imbuh Mustawalad.

Setelah selesainya acara pameran, nantinya beberapa perwakilan koperasi akan melanjutkan lawatannya ke kanada serta beberapa negara Eropa seperti Swiss, guna menjajaki pemasaran kopi Gayo.(Sumber)

Travel "Dian Almaaz Wisata"


TOUR DALAM DAN LUAR NEGERI, TIKET PESAWAT MURAH, RESERVASI HOTEL. CALL. PT. DIAN ALMAAZ TOUR & TRAVEL SERVICE 0651 31424/ 0651 31367 Email: dian_tour@yahoo.co.id 

Adat dan Ciri Khas Aceh

Written By T Noval Ariandi on Sunday 17 June 2012 | 10:01

Lagenda Putri Pukes Antara Mitologi dan Fakta Sejarah

Tidak bisa dipungkiri bahwa takengon adalah daerah yang sejuk dan pas untuk mencari ketenangan setelah berastagi. Bagaimana tidak ?!, Takengon, wilayah yang merupakan bagian dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ini memiliki alam Aceh yang lain dari wilayah Aceh lainnya, yaitu : daerah berhawa sejuk sehingga jika kita berkunjung kesana maka yang akan tersirat dibenak kita adalah betapa sejuknya daerah ini. 
Daerah berhawa sejuk ini menyimpan sebuah cerita rakyat yang dikenal dengan “Lagenda Putri Pukes”. Lagenda aceh “Putri Pukes”, menceritakan manusia menjadi batu. Gua putri pukes terletak didaerah takengon tepatnya jika kita mengelilingi danau laut tawar maka akan menemukan sebuah gua yang menghadap Kampung Nosar, Kecamatan Bintang. Jika dari Kampung Mandale, Kecamatan Kebayakan berjarak sekitar 5 KM dan dari Kampung Bintang, Kecamatan Bintang sekitar 22 KM. Gua putri pukes merupakan salah satu objek wisata andalan Aceh di Kabupaten Aceh Tengah, Takengon. 
Cerita rakyat yang dikenal dengan lagenda ini berdiri antara 2 gerbang misteri, yaitu sebuah mitologi belaka atau sebuah sejarah Aceh (fakta Aceh). Anggapan demikian muncul karena pada maret 2009 tim arkeologi dari Medan, Sumatera Utara melakukan penelitian situs sejarah di Takengon, Aceh Tengah menemukan kerangka manusia yang diperkirakan berusia 3.500 tahun di gua putri pukes. Menurut tim arkeologi bahwa komunitas orang-orang purba disitus ini mempunyai kebiasaan mengebumikan mayat dengan menindihkan batu diatasnya untuk menghindari mayat tidak dimakan binatang buas. Tapi, betul tidaknya lagenda ini hingga sekarang belum ada yang bisa memastikan walaupun telah ditemukannya fakta sejarah oleh tim arkeologi dari Medan. 
Sangat disayangkan gua putri pukes tempat lagenda itu diceritakan sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga tidak lagi alami. Didalam gua putri pukes terdapat batu yang dipercayai adalah putri pukes yang telah menjadi batu, kemudian sumur besar, kendi yang sudah menjadi batu, tempat duduk  untuk orang masa dahulu dan alat pemotong zaman dahulu.
Menurut anggapan masyarakat sekitar batu putri pukes yang makin membesar disebabkan karena kadang-kadang putri pukes menangis sehingga air mata yang keluar menjadi batu juga kemudian air sumur yang terdapat digua putri pukes setiap 3 bulan kering dan tidak ada airnya, tidak diketahui apa penyebabnya akan tetapi jika sumur tersebut berisi air  maka akan ada orang pintar atau paranormal datang untuk mengambil air tersebut. Disamping itu hal yang menarik lainnya adalah kendi yang telah menjadi batu dimana pernah ada seseorang yang mengambil kendi itu tetapi ia mengembalikannya karena ia dilanda resah setelah mengambilnya dan adanya tempat bertapa yang digunakan oleh orang zaman dahulu untuk bertapa guna mencari ilmu serta alat pemotong peninggalan manusia purba ditemukan dalam gua putri pukes. 
Tempat wisata Aceh yang terletak dialam Aceh nan sejuk, ternyata tidak semua orang atau suku gayo yang mendiami tempat ini mengetahui cerita tentang putri pukes. Sebagian dari orang gayo mengetahui lagenda itu tetapi tidak mengetahui alur cerita putri pukes. 

Berikut merupakan cerita putri pukes yang dikutip dari berbagai sumber dan informasi, yaitu : 
Putri pukes adalah sebuah kisah yang terjadi saat mayoritas orang gayo masih menganut agama hindu. Putri pukes adalah nama seorang gadis kesayangan dan anak satu-satunya sebuah keluarga diKampung Nosar. Suatu ketika, ia dijodohkan dengan seorang pria yang berasal dari Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Pernikahan pun dilaksanakan berdasarkan adat setempat. Mempelai wanita harus tinggal dan menetap ditempat mempelai pria. Dimasyarakat gayo ada beberapa model perkawinan adat gayo, seperti : Angkap, Kuso-Kini dan Juelen. 
1. Perkawinan Angkap 
Perkawinan ini terjadi, jika salah satu keluarga tidak mempunyai keturunan anak laki-laki yang berminat mendapat seorang menantu laki-laki maka keluarga tersebut meminang sang pemuda (umumnya laki-laki berbudi baik dan alim). Inilah yang dinamakn “angkap berperah, juelen berango” (angkap dicari, juelen diminta). Menantu laki-laki, diisyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan keluarga pengantin wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga. Sang menantu mendapat harta warisan dari keluarga istri. Dalam konteks ini dikatakan “anak angkap penyapuni kubur kubah, si muruang iosah umah, siberukah iosah ume” (menantu laki-laki penyapu kubah kuburan, yang ada tempat tinggal beri rumah, yang ada lahan beri sawah).
  
2. Perkawinan Kuso-Kini 
Perkawinan ini termasuk jenis perkawinan adat yang modern, karena meletakkan syarat bahwa kedua mempelai bebas menentukan pilihan, dimana mereka akan tinggal menetap dan tidak membeda-bedakan kedudukan kedua orang tua masing-masing. Perkawinan model ini dipandang paling toleransi dan demokrasi karena mengakui hak menentukan pilihan serta menempatkan derajat laki-laki dan wanita sejajar dalam ukuran hukumadat, hukum positif dan kekuatan syariah. Itu sebabnya model perkawinan ini menjadi pilihan dari kebanyakan orang gayo dibandingkan perkawinan lainnya terutama bagi masyarakat yang menetap di kota-kota atau perantauan. 

3. Perkawinan Juelen 
Perkawinan ini adalah jenis perkawinan yang agak unik dalam masyarakat gayo, sebab mempelai wanita dianggap sudah dibeli dan disyaratkan mesti tinggal selamanya dalam lingkungan keluarga mempelai laki-laki. Kata “Juelen” sendiri secara harfiah mengandung arti sebagai barang jual, artinya dengan sudah terjadinya ijab qabul maka keluarga pengantin wanita secara hukum telah menjual anak perempuannya dan suami berkuasa dan bertanggung jawab penuh terhadap wanita yang sudah dibelinya. Inilah yang disebut “sinte berluwah” (pengantin wanita dilepas). Secara ekstrim digambarkan “juelen bertanas mupinah urang”(pengantin wanita dilepas maka bertukar kampung, marga, suku, dan belah). Hubungan kekeluargaan antara pengantin wanita dengan keluarga asal menjadi renggang, walau tidak terputus sama sekali. Status wanita dalam perkawinan ini seperti budak yang sudah dibeli dan “koro jamu” (kerbau tamu) dalam lingkungan masyarakat suaminya. Tidak ada hak sosial yang melekat dalam dirinya selain mengabdi kepada suami/keluarga, membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Hak mengunjungi orang tua asal tidak lagi bebas karena segalanya sudah bertukar kepada keluarga mempelai laki-laki baik kampung, marga, suku dan belah kecuali dalam hal-hal tertentu, seperti : keluarga meninggal dunia dan berkunjung di hari raya. 
Dalam kisah putri pukes adat perkawinan yang dipakai adalah perkawinan dengan sistem “juelen”.  Hal ini diketahui karena berdasarkan kisah setelah selesai resepsi pernikahan dirumah mempelai wanita, ia diantar menuju tempat tinggal mempelai laki-laki. Pihak mempelai wanita diantar ketempat tinggal mempelai laki-laki didalam bahasa gayo disebut “munenes”. 
Pada acara “munenes”pihak keluarga mempelai wanita dibekali sejumlah peralatan rumah tangga, seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring, periuk dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat “munenes” biasanya dilakukan pada acara perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem “juelen”, dimana pihak wanita tidak berhak lagi kembali ketempat orang tuanya. 
Pada saat putri pukes akan dilepas oleh orang tuanya ketempat mempelai laki-laki dengan iring-iringan pengantin, ibu putri pukes berpesan kepada putri pukes yang sudah menjadi istri sah mempelai laki-laki (Nak, sebelum kamu melewati daerah pukes, yaitu rawa-rawa yang sekarang menjadi Danau Laut Tawar. Kamu jangan pernah melihat ke belakang, kaqta ibu putri pukes). 
Sang putri pun berjalan sambil menangis dan menghapus air matanya yang keluar terus-menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih, ia lupa akan pantangan yang disampaikan oleh ibunya tadi. Secara tak sengaja putri pukes menoleh ke belakang seketika itu petir pun menyambar, awan menjadi gelap kemudian sang putri berubah menjadi batu seperti yang sekarang kita jumpai di dalam gua putri pukes.
Apakah ini sebuah mitologi atau sejarah Aceh (fakta Aceh)?, tetapi warga setempat percaya kalau cerita putri pukes benar adanya. Nah! Penasaran aku pikir tak ada salahnya kalau kita tak hanya sekedar melihat danau laut tawar tapi kta juga harus mengunjungi gua putri pukes yang menarik ini. Disana nantinya kamu-kamu bisa menilai sendiri apakah objek wisata ini mitologi atau benar-benar terjadi!. Ayo kita kunjungi besama-sama gua putri pukes ini ajak om, tante, ayah, ibu, kakek, nenek kamu atau semua orang-orang yang kamu sayangi lainnya. Pokoknya dijamin asyik dan menyenangkan karena plus ada fanorama alam nanindah dan sejak disana.(Sumber)

Masjid Quba Takengon, Saksi Sejarah Kebrutalan PKI

Takengon – Siapa yang kenal dengan Masjid Quba. Masjid yang merupakan sejarah aksi pembakaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 21 1965 itu, telah menghiasi Kabupaten Aceh Tengah. Bukan hanya memiliki sejarah yang menarik, masjid yang terletak di Jalan Blang Gele, Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah ini, kubahnya saja sepanjang 20 meter.
Selain itu, sumur tua yang berada di areal masjid disebut-sebut bisa dibuat obat alias air keramat. Dan pada bulan puasa ini, sudah pasti Masjid Quba disesaki pengunjung untuk berbibadah. Tak jarang, dari luar daerah yang melintas, menyempatkan diri untuk bersujud.
Ceritanya, dulu bangunan Masjid Quba semi permanen pernah dibakar oleh anggota PKI. Sedangkan pendiri Masjid Quba pertama sekali oleh almarhum H. Abdurrahman, yang dulunya Masjid Mutelong, kini sekarang Masjid Besar Quba Bebesen.
Namun sayang, tidak banyak warga yang mengetahui sejarah secara detail tentang berdirinya masjid tersebut.”Memang bangunan masjid Quba yang masih permanen itu pernah dibakar oleh PKI. Dan untuk membangun kembali, masyarakat mencari dana khususnya di Takengon maupun Bener Meriah.
Ukuran bangunan masjid quba saat ini seluas 1.686 Meter persegi dengan daya tampung 3000 jemaah,” kata Kepala Kampung Blang Gele, Kecamatan Bebesan, Kabupaten Aceh Tengah, H Adam Usman kepada wartawan koran ini, kemarin.
Sedangkan pondasi bangunan dengan arsitektur moder baru. Pada awalnya, pembangunan masjid tahun 1930 hanya beratap daun dan seterusnya diperbaiki dengan bentuk permanen sebelum jamam Belanda. “Masjid ini merupakan masjid pertama di Gayo ini, bahkan diperkirakan masjid tertua di daerah dari masjid asir-asir,” ungkap H Adam Usman.
Menurutnya, keunitkannya, air telaga di bawah masjid yang memiliki sumur keramat. Air telaga itu sering digunakan oleh masyarakat gayo terutama untuk berobat. Sedangkan perehaban masjid tersebut sudah dua kali melalui swadaya masyarakat dan pemerintah setempat.
Dia menjelaskan, selama bulan puasa ini, Masjid Quba selalu disesaki oleh masyarakat yang ingin beribadah.
Disebutkan Kepala Kampung itu, dulunya Masjid Quba disebut dengan nama Masjid Mutelong yang menggunakan atap seng daun ijo. Masih kata kepala kampung Bebesen itu, masjid besar Quba Bebesen juga memiliki perkarangan jompo seluas, 2.058 meter dan gedung pesantren seluas 3.841 meter, yang kini masih berjalan. Masjid Besar Quba Bebesen pada mulanya disebut juga Masjid Ijo atau Masjid Mutelog pada tahun 1930.(Sumber)

Budaya Peucut Kerkhof Belanda, Sebagai Jati Diri Aceh

Kompleks kuburan militer Belanda terletak di tengah-tengah kota Banda Aceh, sampai saat ini masih terawat dengan baik. Kompleks kuburan ini lebih dikenal sebagai Peucut Kerkhof dan ini membuktikan Pemerintah Aceh dan masyarakatnya tidak pernah dendam tentang masa lalu.
Salah satu jejak dokumen sejarah yang masih tersisa di Aceh sekarang ini adalah komplek kuburan militer Belanda. Pemerintah kota Banda Aceh telah merawat dengan baik sekitar 2200 jasad prajurit Belanda, termasuk serdadu tawanan yang dibawa dari Ambon dan Pulau Jawa, pada saat Belanda memerangi Aceh 26 Maret 1873 sampai 1942. Empat jenderal Belanda juga dikuburkan di Peucut Kerkhof, ucap Adli Abdullah, pemerhati sosial budaya Aceh.
“Sebenarnya ada empat jendral Belanda yang meninggal di Aceh, Köhler, Van Swieten, Pel dan satu lagi saya lupa. Seperti Köhler misalnya, dia meninggal 14 April 1873, gugur di depan Mesjid Raya, kemudian oleh pasukannya dilarikan ke laut dan dibawa. Sehingga ekspedisi Belanda pertama itu gagal. Balik ke Jakarta dan dimakamkan di Tanah Abang, di Jakarta. Dikembalikan ke Aceh sebenarnya tidak ada rencana awalnya. Cuma atas inisiatif Gubernur Aceh waktu itu Muzakir Walad, karena Köhler ini meninggalnya di Aceh, apalagi karena kena penggusuran di Jakarta, karena perluasan kantor Balai Kota, makanya tulang belulangnya dimakamkan di Aceh,” sebut Adli Abdullah.
Sebelum kita memasuki halaman kuburan Peucut Kerkhof, terdapat kalimat bertuliskan “2200 Prajurit dikuburkan di sini. Angkatan Perang Kerajaan Hindia Belanda Timur (KNIL) membayar mahal atas kehadirannya di Aceh.”

Perang atau sakit

Amri, penjaga makam yang sudah 17 tahun bertugas merawat kompleks Peucut Kerkhof menjelaskan, di setiap batu nisan dibuat tanda untuk menjelaskan yang dikuburkan tersebut tewas karena perang atau karena sakit.
“Tanggung jawab saya cukup luar biasa. Kebersihannya. Pokoknja hari potong rumput, supaya kerkhof ini tetap bersih. Yang rusak-rusak diperbaiki yang bagus. Dicat, baik itu kuburan, pagar sekeliling kerkhof diperbaiki, sampai kantor-kantornya, perumahan karyawan di sini,” ujarnya.
Nama kerkhof berasal dari bahasa Belanda yang berarti halaman gereja atau kuburan. Sedangkan Peucut berasal dari nama salah seorang putera Sultan Iskandar Muda yang dihukum mati dan dikuburkan di salah satu bukit kecil di dalam komplek makam. Sehingga penggabungan nama Peucut Kerkhof dikenal sebagai situs sejarah peninggalan Belanda di areal seluas 3,25 hektar.

Didirikan di Aceh

Sementara itu perawatan Peucut Kerkhof dibiayai oleh Stichting Peucut Fonds atau Yayasan Dana Peucut. Yayasan tersebut pada dasarnya bermaksud untuk menyelamatkan kuburan militer Belanda agar dapat disaksikan oleh generasi mendatang. Dewan pengurus yayasan khususnya mengumpulkan dana untuk perbaikan dan pemeliharaan semua aktivitas ini sesuai dengan MOU antara Pemerintah Aceh dengen Belanda. Yayasan Dana Peucut sendiri berdiri sejak 29 Januari 1976, ketua yayasan pertama bernama Letnan Jendral F. van der Veen seorang perwira di Korp Marrechaussee yang pernah bertugas di Aceh, karena memang korps itu didirikan di Aceh.
Peucut Kerkhof merupakan gambaran nyata bagi masyarakat Aceh. Setiap kuburan memiliki kisahnya sendiri. Ini bukti kedahsyatan perang Aceh melawan Belanda tidak membuat situs sejarah ini terbengkalai. Karena masyarakat Aceh tidak membawa dendam sampai mati.
Adli Abdullah juga menjelaskan, bagi masyarakat Aceh musuh itu tidak dibawa sampai mati. Musuh itu ada ketika masih hidup, kalau sudah meninggal itu dianggap sudah menjadi Bani Adam. Makanya pihak-pihak Belanda pada waktu itu, tahun 1984, setuju, waktu Pak Muzakir minta supaya abu jenazah Köhler dibawa pulang ke Aceh. Itu tindakan yang spektakuler.
Bahkan setelah itu, kuburan Duta Besar Aceh yang ada di Belanda pun direnovasi. Sehingga Gubernur Aceh Muzakir Walad datang ke Belanda di Middelburg. Dubes itu, Tengku Syeh Abdul Hamid yang pernah dikirim oleh Sultan Syaidil Kamil pada tahun 1601 sebagai Duta Besar Aceh di Negeri Belanda dan meninggal di Belanda. Jadi Köhler dibawa pulang ke Aceh dan kuburan Tengku Syeh Abdul Hamid pun direnovasi. Jadi bagian bukti-bukti sejarah. Makanya sejarah itu penting, itu bagian indentitas suatu bangsa.(Sumber)

Laksamana Perempuan Pertama di Dunia

Membicarakan perempuan hebat, ada sedikit cerita tentang sosok perempuan lain yang berbeda generasi dari RA Kartini. Salah satu pahlawan perempuan ini jarang disebut namanya. pahlawan yang tidak pernah diungkit sejarahnya.
Laksamana perempuan pertama di dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan. Dialah Laksamana Malahayati.
Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Wanita ini merupakan wanita pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Ia lahir pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV.
Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari keluarga bangsawan Aceh. Belum ditemukan catatan sejarah secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya. Diperkirakan, masa hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.
Putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut. Jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kelak berpengaruh besar terhadap kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya tersebut.
Kiprah Laksamana Malahayati dimulai pada saat dibentuk pasukan yang prajuritnya terdiri dari para janda yang kemudian dikenal dengan nama pasukan Inong Balee, Malahayati adalah panglimanya (suami Malahayati sendiri gugur pada pertempuran melawan Portugis).
Kabarnya, pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee.
Karir Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin jaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.
Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.
Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil menggebuk armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Ketika Negara-negara maju berkoar masalah kesetaraan gender terutama terhadap Negara berkembang dewasa ini, wilayah nusantara telah lama mempunyai pahlawan gender yang luar biasa. Laksamana perang wanita pertama di dunia.
Nama Malahayati saat ini terserak di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi dan tentu saja nama kapal perang. KRI Malahayati, satu dari tiga fregat berpeluru kendali MM-38 Exocet kelas Fatahillah.
Bahkan lukisannya diabadikan di museum kapal selam surabaya. di Pun demikian, entah kenapa tak banyak yang mengenal namanya.(Sumber)

Si Mata Biru Keturunan Portugis dari Lamno

Nama Lamno begitu populer, dikarenakan sebagian penduduknya berciri khas orang Eropa, sehingga sebutan “si Mata Biru” atau “bulek Lamno” pun tidak terbantahkan ketika kita melihat sosok mereka.
Sampai saat ini tidak ada cerita yang pasti soal asal muasal mengapa si Mata Biru ada di pedalaman desa di bawah kaki gunung Geureute Aceh Jaya.
Tidak semua penduduk Lamno yang berada di kecamatan Jaya, kabupaten Aceh Jaya memiliki postur tinggi, berhidung mancung, berambut pirang, berkulit putih dan bermata biru kecoklatan. Ciri khas tersebut hanya dimiliki oleh penduduk asli Daya keturunan Portugis.
Wahidin, salah seorang warga desa Ujong Muloh yang mempunyai darah keturunan Portugis mengatakan komunitas si Mata Biru atau lebih dikenal dengan sebutan bulek Lamno, kini sudah berkurang jumlahnya.
“Merupakan keturunan kedelapan karena dari orangtua kami ada yang kelima dan enam. Di kabupaten Aceh Jaya dan khususnya kecamatan Jaya dan ada lagi kecamatan Baru, namanya kecamatan Indra Jaya di situ terdapat beberapa desa yang dihuni oleh penduduk keturunan Portugis yang pada abad ke-14 sampai ke-16 terdampar di daerah kerajaan Daya,” cerita Wahidin.
“Masyarakat dan kerajaan Daya menahan tentara Portugis, lalu mereka menikah dengan orang-orang yang berada di sekitar kerajaan Daya. Desa-desa yang menjadi basis keturunan Portugis penduduknya yaitu desa Ujong Muloh, Kuala Daya, Gle Jong, Teumareum dan Lambeso, ini umumnya hampir semua perempuan dan laki-lakinya berciri khas kulit putih, rambut pirang dan hidung mancung.”
Sementara prianya ditambah dengan berbulu di tangan dan bulu dada yang tebal.
“Di Lamno pengaruh Islam luar biasa. Tentara Portugis yang telah kawin dengan dengan masyarakat Lamno mengikuti agama Islam,” kata Wahidin, warga desa Ujong Muloh.
Lamno sebuah wilayah yang terletak di pesisir Barat Aceh, berjarak 86 kilometer dari kota Banda Aceh, ibukota Provinsi. Adat istiadat Komunitas si Mata Biru sama dengan penduduk Aceh lainnya, hanya dialek bahasa yang membuat penduduk keturunan Portugis ini menjadi berbeda.
“Menyangkut dengan bahasa masyarakat Lamno berbeda dengan bahasa yang ada di kota. Orang keturunan Portugis itu menggunakan dialek bahasa Daya. Umpamanya kalo kamo (kami), bahasa Lamnonya kame atau kamey, (hari ini) uronyo disebut uronyee.”
Ada dua versi cerita tentang asal-usul keberadaan orang Portugis di Lamno.
Versi pertama mengatakan Portugis datang ke Aceh untuk menjajah pada tahun 1519 dan menikah dengan penduduk setempat, sedangkan versi kedua mengatakan sebuah kapal perang Portugis yang berisikan ratusan prajurit terdampar di perairan Lamno.
Kemudian Raja Daya yang berkuasa pada saat itu menyelamatkan prajurit dan menerima mereka menjadi penduduk setempat, dengan syarat harus memeluk agama Islam.
Kini keberadaan si Mata Biru atau bulek Lamno keturunan Portugis sudah berkurang jumlahnya. Desa-desa yang menjadi basis keturunan Portugis tersebut tersapu oleh dahsyatnya gelombang Tsunami.
Karena imbas tsunami yang luar biasa, keturunan Portugis itu terpencar. Ada yang ke Banda Aceh, Lhokseumawe dan Meulaboh. Setelah tsunami mereka kawin dengan orang di sekitar tempat pengungsian.
“Dari hasil perkawinan tersebut sudah ada anak-anak keturunan Portugis berada di luar kecamatan Jaya.”
Pemerintah Portugal sendiri telah menyalurkan bantuan pembangunan fasilitas kesehatan dan pendidikan di kawasan tersebut yang masih tersisa.
Menurut catatan sejarah yang ada di pusat dokumen induk Aceh, Marco Polo dalam petualangan pelayaran keliling dunianya tahun 1292-1295 pernah singgah di kerajaan Daya dan menulis buku tentang kebesaran kerajaan Daya berbaur dengan prajurit Portugis di Lamno. (Sumber Utama)

Perang Kerajaan Bengkulu dan Aceh Harus Diluruskan

Bengkulu – Perang Kerajaan Bengkulu, (kerajaan Sungai Serut) pada abad ke-XV terhadap pangeran dari Aceh harus diluruskan karena bukan masalah penolakan lamaran Putri Gading Cempaka tapi lebih tepatnya akibat permasalahan ekonomi.
“Banyak pihak mensinyalir, perang antara kerajaan Bengkulu dengan pengeran Aceh pada abad ke-XV itu akibat lamaran pangeran yang ditolak Putri Gading Cempaka dari Bengkulu, tapi masalah perebutan rempah-rempah yaitu lada,” kata Kurator Museum Bengkulu Muhardi di Bengkulu, Rabu (4/4).
Menurut pemerhati sejarah yang juga kurator Museum Negeri Bengkulu itu, sejarah perang antara kedua kerajaan itu harus diluruskan karena bukan mutlak karena pinangan pangeran Aceh yang ditolak oleh Putri Gading Cempaka, tapi masalah bisnis rempah.
Pada abad XV Bengkulu terbagi dua, bagian selatan dibawah pengaruh kesultanan Banten dan bagian utara dikuasai pangeran Aceh yang memperebutkan bisnis lada.
Ia melanjutkan, kerajaan itu inti permasalahan adalah ekonomi tapi kalau sudah ke alur cerita, maka munculah kisah melankolik dan romantis yang mengatakan bahwa perang itu terjadi karena lamaran Pangeran Aceh ditolak oleh Putri Gading Cempaka Bengkulu.
Padahal inti terjadi perang kedua daerah itu adalah lada karena pada masaa itu dari Kabupaten Kaur hingga Mukomuko, Air Manjunto mayoritas lada.
Pada masa itu lada asal Kaur begitu primadona bagi orang-orang Eropa dan ini menjadi produk rebutan bagi kerajaan-kerajaan yang menduduki Bengkulu.
Indikasi berikutnya adalah beridirnya benteng Marlborough yang dibangun Inggris dengan bentuk yang besar dan tentu memakan modal cukup banyak.
“Tidak mungkin Inggris mau membuang-buang uang begitu saja membangun sebuah benteng terbesar di Asia Tenggara, kalau di Bengkulu tidak ada penghasilan yang besar yakni lada,” ucapnya.
Ia menegaskan, bisa saja pada saat itu memang benar lamaran pangeran Aceh ditolak putri Gading Cempaka dari kerajaan Sungai Serut Bengkulu, namun tentunya hal itu tidak menjadi motif terbesar terjadinya perang Aceh dan Bengkulu, ujarnya. (man/ant)

Tun Sri Lanang, Kisah yang Terkubur Tiga Abad Lalu

Dulu, Mahdi Jamil (45) tak paham mengapa banyak peziarah datang ke kampungnya. Yang dia tahu, ada makam pembesar Aceh, belasan meter jaraknya dari rumahnya di Gampong Meunasah Lueng, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh. ”Saya tahu ada makam keramat, tetapi entah makam siapa,” ujarnya.
Suatu ketika, pertengahan tahun 2004, seorang pengunjung asal Malaysia bersukacita saat melihat makam itu. Si pengunjung berulang kali sujud syukur di sekitar makam setelah mencocokkan dua lembar foto yang dia bawa. Katanya, makam itulah yang dia cari bertahun-tahun.
Itulah makam Tun Sri Lanang, raja (uleebalang) pertama Samalanga, bernama asli Tun Muhammad dan bergelar Datuk Bendahara Tun Muhammad.
”Kata si pengunjung itu, batu nisannya cocok dengan nisan yang ada di foto itu. Jenis dan ukiran nisan khas Turki, yang sama dengan petunjuk,” cerita Mahdi.
Kabar penemuan makam Tun Sri Lanang pun berkembang dari mulut ke mulut. Sejak itu, peziarah hilir mudik di Gampong Meunasah Lueng. Ada yang datang sekadar ingin tahu, tetapi tak sedikit di antara mereka adalah keturunan Tun Sri Lanang, baik dari Malaysia maupun Indonesia.

Belum jelas mengapa kisah raja pertama Samalanga itu ”terkubur” hingga makamnya tak dikenali rakyat dan keluarganya

Lokasi makam berada di tanah lapang di antara rumah warga dan jalan desa. Di sekitar nisan terdapat susunan batu yang berderet seperti nisan dan dipercaya sebagai makam para keturunan raja, dua di antaranya telah diberi petunjuk nama makam Teuku Shyik Muda Bugeh dan Pocut Meuligoe. Di sekitar makam-makam itu berdiri pohon melinjo, mangga, durian, pala, dan kelapa.
Ada juga rumah panggung kayu khas Aceh yang oleh warga sekitar disebut Rumoh Krueng atau rumah sungai karena lokasinya tak jauh dari Sungai Batee Iliek. Rumah yang diyakini peninggalan Tun Sri Lanang itu telah beberapa kali ganti penghuni, mulai dari keluarga, kerabat ahli waris, hingga Tentara Nasional Indonesia yang pernah bermarkas di daerah itu tahun 1980-an.

Dua bangsa

Belum jelas mengapa kisah raja pertama Samalanga itu ”terkubur” hingga makamnya tak dikenali rakyat dan keluarganya. Namun, penemuan itu menjadi tonggak bersejarah bagi keluarga keturunan Tun Sri Lanang.
Ahli waris yang tersebar di beberapa kota di Indonesia dan Malaysia pun dipertemukan setelah sempat tak terhubung dan tak saling mengetahui selama bertahun-tahun.
Menurut Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Profesor M Dien Madjid, rekam jejak Tun Sri Lanang yang berlatar di Batu Sawar, Johor, Malaysia, dan Samalanga, Aceh, Indonesia, dapat dijadikan simpul yang mempererat kedua bangsa serumpun. Hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia yang beberapa kali memanas belakangan ini seharusnya tidak perlu terjadi jika merunut sejarah tersebut.
Sebelum memimpin Negeri Samalanga tahun 1615-1659, Tun Sri Lanang merupakan Bendahara Kerajaan Johor (menjalankan peran seperti perdana menteri). Setelah Aceh menaklukkan Batu Sawar, ibu kota Kerajaan Johor, pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda memboyong Tun Sri Lanang ke Aceh dan kemudian ia diangkat sebagai penguasa pertama Samalanga, sebagai wilayah Aceh Darussalam.
Ketua Yayasan Tun Sri Lanang yang juga keturunan ke-8, Pocut Haslinda Syahrul, menambahkan, kepindahan Tun Sri Lanang ke Samalanga membawa perubahan. Demi memenuhi kebutuhan pangan, misalnya, Tun Sri Lanang bercocok tanam dan hasilnya dibagikan kepada warga yang membutuhkan.
Dia juga memelopori pembuatan perahu untuk kebutuhan nelayan dan transportasi laut, serta membangun masjid dan pesantren sebagai pusat kegiatan ibadah, pendidikan, dan aktivitas sosial. Dampaknya, ekonomi Samalanga membaik.
Tun Sri Lanang wafat tahun 1659 dan jenazahnya dimakamkan di dekat pesantren yang dibangunnya di Kuta Blang Samalanga.
Tun Sri Lanang menurunkan garis keturunan di Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia, keturunannya merupakan para sultan di Melayu, seperti Sultan Pahang, Sultan Johor, Sultan Trengganu, dan Sultan Selangor.
Sementara di Aceh, Tun Sri Lanang menurunkan darah keberanian dan perjuangannya kepada Pocut Meuligoe, keturunan ke-5, yang memimpin perlawanan terhadap Belanda hingga terusir dari Samalanga.
Dengan latar itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala bersama Yayasan Tun Sri Lanang yang diketuai Pocut Haslinda Syahrul menggelar seminar ”Ketokohan Tun Seri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa” di Kabupaten Bireuen, Kamis, 8 Desember lalu. Seminar dihadiri sejarawan, pemerhati sejarah, guru, mahasiswa, dan masyarakat dari Indonesia, khususnya Aceh, serta Singapura dan Malaysia.
Direktur Nilai Sejarah Shabri Aliaman mengatakan, ketokohan Tun Sri Lanang diharapkan dapat merevitalisasi memori kolektif kedua negara bangsa agar terjalin hubungan yang lebih baik. Peninggalannya di Samalanga juga dinilai penting sehingga layak dijadikan sebagai kawasan wisata sejarah Melayu-Nusantara.

Karya tulis

Tun Sri Lanang, antara lain, dikenal sebagai sastrawan, penulis sejarah, ahli pemerintahan, melalui karya Sulalatus Salatin. Karya itu bahkan menjadi rujukan sejarah Melayu dan menjadi ”buku wajib” yang diajarkan di sekolah-sekolah Malaysia.
Sulalatus Salatin yang naskah aslinya ditulis dalam huruf Arab Jawi atau Arab Pegon juga menjadi bahan kajian para peneliti sejarah dan naskah kuno dari sejumlah negara.
Pocut Haslinda, dalam buku terjemahan populer Sulalatus Salatin, menyebutkan, karya Tun Sri Lanang itu memuat berbagai macam kearifan yang relevan hingga kini. Selain berisi hikayat raja-raja Melayu dan Nusantara sejak zaman Sultan Iskandar Zulkarnain menaklukkan Hindi, kitab tersebut juga menyuguhkan khazanah adat istiadat dan nasihat pemimpin atau raja kepada masyarakatnya.
Kepakaran Tun Sri Lanang diakui masyarakat luas. Bahkan, lanjut Pocut Haslinda, ulama asal Gujarat yang diangkat sebagai penasihat Raja Aceh, Nuruddin Ar-Raniri, menjadikan Tun Sri Lanang sebagai mentor dalam pembelajaran penulisan sastra Melayu.
Sastrawan Singapura, Djamal Tukimin, mengatakan, Sulalatus Salatin yang tahun 2012 ini genap berumur 400 tahun merupakan karya sastra sejarah putra asli Melayu yang monumental. Sejarah Singapura kuno dinilai tak akan dikenal jika tidak ditulis Tun Sri Lanang.
Karya itu juga menjadi kajian para peneliti sejarah dan sastra dunia. ”Di Singapura, Tun Sri Lanang dipakai sebagai nama penghargaan bidang sastra sejak lebih dari 20 tahun lalu,” kata Djamal.
Muhammad Haji Saleh, peneliti Pusat Penyelidikan Dasar dan Kajian Antarbangsa Universitas Sains Malaysia, menambahkan, Sulalatus Salatin merupakan karya sastra agung, sekaligus buku sejarah dan panduan istiadat yang penting dalam peradaban, kebudayaan, dan sistem pemerintahan Melayu.
Menurut dia, bahasa yang digunakan merupakan bahasa terbaik dalam khazanah sastra Melayu.
Oman Fathurahman, peneliti manuskrip kuno dari UIN Syarif Hidayatullah, berpendapat senada. Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu klasik, katanya, Sulalatus Salatin dapat dianggap sebagai salah satu teks Melayu terpenting yang memikat perhatian peneliti dan sarjana sejumlah negara.
Perbincangan mengenai Tun Sri Lanang juga selalu lekat dengan karya tersebut. Apalagi Sulalatus Salatin menjadi satu-satunya karya yang kepengarangannya dihubungkan dengan Tun Sri Lanang.
Sulalatus Salatin banyak diterjemahkan sebagai Sejarah Melayu atau Malay Annals. Ada juga yang menyebut Sulalat sebagai peraturan, pertuturan, juga perteturun. Namun, dengan melihat maknanya, transkripsi paling tepat, menurut Oman, adalah perteturun sehingga Sulalatus Salatin perlu dibaca sebagai Perteturun Raja-raja.
Terlepas dari itu, kata Oman lagi, kebesaran dan keindahan Sulalatus Salatin sebagai sebuah karya sastra sejarah Melayu klasik dalam beberapa hal jauh melebihi kebesaran zaman dan pengarangnya.(Sumber)

Kuah Blang, Menu Daging Khas Aceh

Kita lebih banyak mengenal masakan daging sapi/kambing dengan bumbu karinya, daging stek/semur yang dominan dengan kecap, serta jenis-jenis masakan daging lainnya. Di Aceh, khususnya Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan sebagian wilayah Aceh Barat, ada menu daging yang sangat khas yaitu “kuah blang” (Gulai Sawah). Ihwal disebut kuah blang, karena racikan bumbunya memang sangat khas.
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh ketika musim tanam padi tiba. Sebelum dimulainya waktu turun kesawah, terlebih dahulu diadakan selamatan memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya hasil padinya bagus, jauh dari gangguan hama dan memenuhi panen seperti yang diharapkan. Hajat ini dinamakan kenduri blang (selamatan turun ke sawah). Dengan menyembelih seekor sapi/kerbau atau bahkan lebih tergantung kemampuan masyarakatnya. Daging sapi/kerbau dimasak menggunakan belanga besar dengan bumbu khas kuah blang untuk dimakan bersama-sama.
Hingga kini, kuah blang menjadi sangat dominan sebagai menu utama disetiap acara kenduri/selamatan, hajatan, pesta perkawinan anak dan kegiatan-kegiatan perayaan lainnya. Sehingga, bila tidak ada menu kuah blang, maka belum dikatakan lengkap acara/kenduri tersebut. Perayaan dalam bentuk apapun yang diselingi dengan makan bersama, kuah blang merupakan menu utama disamping menu-menu yang lain.
Jenis bumbu kuah blang terdiri: kelapa gonseng, cabe merah kering, lada, kunyit, bawang putih dan merah, yang semuanya dihaluskan menjadi bumbu. Sebagai pengharum kuah dimasukkan daun kelor, kayu manis dan ditambah bawang merah yang dirajang. Untuk lebih terasa lagi nikmatnya –maaf tidak dianjurkan– ditambah sedikit biji ganja yang telah ditumbuk halus. Untuk biji ganja ini, berhubung telah dilarang dan diharamkan (masuk jenis narkoba), maka sudah tidak digunakan lagi. Namun, tidak menghilangkan aroma serta kenikmatannya karena telah ditambah dengan bawang merah yang dirajang.
“Mengenai biji ganja (mariyuana), itu merupakan salah satu jenis bumbu masak yang selalu digunakan oleh masyarakat Aceh sejak dahulu kala. Tapi sekarang, ganja telah disalahgunakan pemanfaatannya sebagai benda yang dapat membuat seseorang “flay” bila menghisapnya. Sehingga, negara membasmi serta mengharamkan ganja dan masuk kedalam jenis obat-obat terlarang. Dan bagi pemakai serta pengedar barang yang sudah haram ini, akan dikenai hukuman dan dipenjarakan”.
“Oleh karena sebagai bumbu masak, pohon ganja tumbuh liar dan menjamur di hutan-hutan Aceh seperti pohon/daun-daun lainnya yang sering digunakan untuk penyedap masakan oleh masyarakat Aceh. Tapi, sekarang pohon ganja yang banyak terdapat di tanah Aceh sudah mulai punah dan dipunahkan. Masyarakat sudah tidak lagi menggunakannya sebagai bumbu penyedap masakan.
Pemakaian yang berlebihan sangatlah berbahaya jika fisik seseorang tidak tahan dan berakibat sangat fatal dan dapat merusak jiwa serta mental. Daya pikir juga akan menjadi mundur dan sering lupa. Saya sangat tidak menganjurkan untuk digunakan sebagai bumbu penyedap masakan yang berakibat menjadi alat penghayal yang akhirnya bisa melupakan dirinya sendiri (gila)”.
Di Aceh banyak terdapat warung-warung/restauran yang menyajikan menu khas kuah blang dari daging kambing (bu sie kameng kuah blang). Bahkan, banyak diantaranya warung yang hanya khusus menyediakan daging kambing saja tanpa ada menu-menu lainnya.
Warung-warung tersebut banyak ditemui dihampir seluruh pelosok wilayah Aceh. Syahdan, menu khas kuah blang daging kambing ini telah banyak mengingatkan tamu-tamu yang pernah berkunjung ke Aceh untuk kembali lagi Mereka datang lagi hanya sekedar untuk dapat mencicipinya kembali.
Aroma khas dari daging “si beken” ini telah merambah ke hampir seluruh kota-kota besar Indonesia. Namun, gulai kambing yang disajikan di luar wilayah Aceh, bumbunya sudah terimprovisasi dengan khas daerah setempat. Sehingga, nuansa kuah blang seperti yang aslinya di Aceh sudah tidak ada dan berganti dengan rasa kari kambing. Tapi, racikan dari bumbu utama masih dominan.
Bu sie kameng (nasi kambing) ini tidak boleh dikonsumsi berlebihan oleh mereka yang mempunyai tekanan darah tinggi. Apalagi bila menyantap kepala kambing. Ini bisa langsung bereaksi tensi darahnya dan terasa pusing-pusing. Sebagai menu penyeimbang, adalah air ketimun. Dan, disetiap warung/restauran di Aceh yang menyediakan daging kambing kuah blang, selalu ada air ketimun.
Daging kambing mempunyai kandungan/sipat yang panas. Konon, bila sering mengkonsumsinya, badan akan terasa hangat. Juga dapat meningkatkan stamina tubuh serta gairah yang besar. Kambing Aceh masih tergolong alami karena mendapatkan makanan dedaunan yang masih banyak terdapat di hutan-hutan Aceh. Tidak diberi ampas tahu yang akan membuat dagingnya terasa tidak gurih.
Perbedaan antara kambing penggemukan (ampas tahu) dengan yang alami adalah, salah satunya pada tarikan kulit dan kelincahannya.(Sumber)

Seudati Aceh, Tarian Gembira Penuh Heroik

Provinsi Aceh tak hanya dikaruniai kekayaan alam yang mempesona nan elok, provinsi ini juga dikaruniai keragaman budaya khususnya dalam tarian. Selain tari Saman Aceh juga memiliki tari Seudati yang sangat digemari oleh masyarakat Aceh.

Pada mulanya tarian ini berkembang di Aceh Utara dan Pidie, kemudian tarian ini diperkenalkan ke Aceh Timur sehingga tarian ini menjadi tarian khas daerah ini.
Nama Seudati sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadat yang berarti saksi atau pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad utusan-Nya. Tarian yang termasuk dalam kategori tribal war dance atau tari perang ini sudah dikembangkan sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh yang kemudian dijadikan sebagai media dakwah yang kental dengan nilai-nilai Islam.
Ciri khas Tari Seudati adalah heroik, gembira, dan kebersamaan. Dalam mementaskan tarian Seudati tidak diiringi dengan menggunakan alat musik. Sebagai penggantinya para penari membunyikan kertikan jari, hentakan kaki, tepukan dada, serta lantunan syair-syair yang dilantunkan oleh dua orang narator yang disebut Aneuk Syahi. Syair-syair yang mengiring dalam tarian Seudati biasanya bertemakan keagamaan atau informasi pembangunan negara.
Tarian Seudati sendiri dimainkan oleh 8 orang yang terdiri dari 1 orang pemimpin yang disebut Syech, 1 orang pembantu Syech, 2 orang pembantu sebelah kiri yang disebut apeetwie dan 1 orang pembantu dibelakang yang disebut apeet bak, serta 3 orang pembantu biasa. Para penari Seudati menggunakan busana sangat sederhana yang terdiri dari celana panjang biasa berwarna putih, baju kaos lengan panjang yang ketat dan berwarna putih,
Sementara itu sebagai pelengkap aksesorisnya para penari menggunakan kain songket sebagai ikat pinggang, ikat kepala berwarna merah, dan rencong yang diselipkan di pinggang. Tari Seudati Menggambarkan semangat perjuangan, sikap kepahlawanan, keriangan, kelincahan, serta sikap hidup yang dinamis, kegotong royongan dan persatuan. Sewaktu perang Aceh, tari seudati digunakan untuk membakar semangat para pemuda untuk berperang melawan penjajah.(Sumber)

Seumano Pucok, Prosesi Adat Pernikahan Aceh

Semanoe Pucok (siraman atau mandi kembang) untuk calon pasangan calon pengantin wanita dan laki-laki di provinsi Aceh nyaris punah akibat minimnya pengetahuan warga tentang adat dan budaya perkawinan itu.
“Banyak masyarakat kita yang tidak melaksanakan lagi adat seumano pucok sehingga adat dan budaya ini hampir punah, ini akibat kurangnya pengetahuan tentang adat dan budaya seumano pucok,” kata tokoh adat Aceh Jauhari (49) di Banda Aceh, Rabu.
Seumanoe pucok merupakan salah satu prosesi adat perkawinan di kabupaten Aceh Besar yang harus dilaksanakan calon pasangan pengatin sebelum akad nikah.
“Saat ini tidak banyak keluarga yang melaksanakan prosesi adat siraman yang biasanya dilaksanakan satu hari sebelum akad nikah padahal ini merupayah adat istiadat warisan leluhur,” katanya.
Menurutnya, seumanoe pucok selain bertanda akan melepas masa lajang, siraman yang dilakukan pemuka adat, kedua orang tua atau wali dan family dekat juga bertujuan untuk membersihkan diri.
Jauhari mengatakan air yang digunakan untuk siraman itu juga dicampur dengan berbagai jenis dedaunan dan bunga seperti daun manek mano, jeruk purut dan beberapa jenis ilalang.
Dedaunan dan kembang itu dicampur dalam sebuah ember dan secara bergantian para tokoh adat, orang tua serta sanak famili menyirami calon pengantin wanita.
Setelah acara siraman kemudian dilanjutkan dengan tepung tawar (peusijuek) yang dilakukan juga oleh tokoh adat, kedua orang tua serta sanak family dari calon pengantin wanita tersebut.
Terakhir calon pengantin didampingi tokoh adat dan orang tua berziarah ke kuburun leluhur untuk memohon restu atas perkawinan yang akan dilaksanakan.
Selain Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Selatan merupakan salah satu daerah yang memiliki adat seumano pucok di provinsi paling ujung barat pulau Sumatera. (ant/tempo)

Kuta Reh, 108 Tahun Lalu

Ama Mala, Ine Mala dan Mala terlibat perbincangan serius. Ama (ayah) mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan kelompok pejuang untuk melawan penjajah Belanda.
Sementara itu, Ine (ibu) melarang Ama ikut berjuang karena umurnya yang sudah tua, namun Ama tetap pada tekadnya bergabung dengan pejuang. Mala, anak semata wayang Ama dan Ine yang baru beranjak dewasa, hanya bisa menangis.
Dalam sebuah pertempuran antara pejuang Aceh dengan Belanda, Ama pun tewas, selanjutnya Mala yang telah dewasa ingin meneruskan perjuangan Amanya. Namun, saat Mala hendak bergabung dengan kelompok pejuang, pasukan Belanda yang dipimpin Gotfried Coenraad Ernst van Daalen datang ke perkampungan Kuta Reh dan membunuh hampir 3.000 penduduk setempat.
Hanya satu orang anak yang tersisa dalam pembantaian tersebut yang kemudian bergabung dengan Cut Nyak Dhien, dan mendampingi perempuan tersebut hingga meninggal ditawan Belanda.
Lakon tersebut dikisahkan di atas panggung di Taman Budaya Kota Banda Aceh, Selasa pekan lalu. Sutradara Drama Kuta Reh, Gayo, Mustika Permana mengaku drama tersebut sengaja dibuat untuk mengingatkan pernah terjadi pembantaian sadis oleh tentara Belanda di tanah Gayo tepatnya di Kuta Reh Kabupaten Gayo Lues.
Pembantaian Kuta Reh terjadi pada 14 Juni 1904 di Kuta Reh, Gayo. Pembantaian menyebabkan 2.922 warga dibunuh, terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan. Tapi, menurut catatan Kempes dan Zentgraaff, korban pembantaian itu mencapai 4.000 orang.

Menaklukkan Aceh

Pembantaian di Kuta Reh itu bermula dari keinginan Gubernur Militer Belanda di Aceh, Van Huetsz, untuk menaklukkan seluruh Aceh setelah raja Aceh Sulthan Muhammad Daud Syah menyerah pada 1903. Ia memerintahkan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen untuk menyerang daerah Gayo Lues pada 1904.
Keberingasan maréchaussée atau marsose itu berdampak pada penyerangan-penyerangan selanjutnya ke berbagai daerah operasi. Mereka menjadi pasukan yang di luar kendali dan bertindak brutal. Mulai dari penyerangan ke Gayo Laut, Gayo Deret, sampai kemudian Van Daalen dan pasukannya pada 9 Maret 1904 menyerang Gampong Kela, sebuah daerah terpencil di Gayo Lues pada masa itu.
Mulai dari kampung itulah penaklukan demi penaklukan dilakukan Van Daalen, dimulai dari benteng pasir pada 16 Maret 1904, Gemuyung pada 18, 19 dan 20 Maret 1904, Durin pada 22 Maret 1904, Badak pada 4 April 1904, Rikit Gaib pada 21 April 1904, Penosan pada 11 Mei 1904 dan Tampeng pada 18 Mei 1904.
Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya dibunuh. Menurut catatan Keempes dan Zentegraaf, hampir 2.922 rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman Jata, H Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen Manyak Tri, dan Dimus.
“Tapi, tidak semua orang tahu pernah terjadi pembantaian di tanah Gayo. Pembantaian tersebut diketahui karena ada dokumentasi berupa foto setelah tentara Belanda selesai membantai warga di Kuta Reh,” tutur Mustika.
Tidak hanya warga Aceh atau Indonesia, warga Gayo sendiri sudah tidak banyak yang tahu pernah terjadi pembantaian ribuan warga sipil saat penjajahan Belanda tersebut. “Sebagian besar orang telah melupakan kejadian itu,” ujar Mustika.

Gugat Belanda

Warga Aceh yang bermukim di Swedia juga pernah menggugat pemerintah Belanda terkait pembantaian Kuta Reh, Gayo, di masa Perang Aceh. Gugatan tersebut terinspirasi dari putusan Pengadilan Den Haag yang menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus memberi kompensasi pada korban pembantaian di Rawagede.
Keputusan itu menjadi preseden baik bagi korban kejahatan perang Belanda lainnya: bahwa kejahatan hak asasi manusia tidak terikat waktu. Salah satunya, Aceh. “Kawan-kawan di sini merasa kemenangan Rawagede sebagai keuntungan bagi Aceh dan juga menambah semangat untuk menuntut keadilan,” kata aktivis Aceh di Swedia, Asnawi Ali.

"Tragedi Kuta Reh oleh sebagian rakyat Belanda juga masih dikenang sebagai sesuatu yang keji dan sadis"

Warga Aceh akan bekerja sama dengan mitra hukum di Belanda. Mereka optimistis, meski pembantaian tersebut terjadi jauh sebelum tragedi Rawagede.
“Perlu digarisbawahi bahwa Aceh dulu berperang melawan Belanda. Perang Aceh itu merupakan yang terpanjang. Meskipun sudah lama, anak cucu korban masih menuntut keadilan. Salah satunya adalah cucu Raja Aceh yang masih hidup,” kata Asnawi. Selain itu, mereka yakin dengan keobjektifan penegak hukum, terutama pengadilan di Belanda.
Menurut Asnawi, gugatan atas tragedi Kuta Reh sebenarnya bukan hal baru. Gugatan tersebut pernah dilakukan beberapa tahun silam, tapi gagal dengan alasan kedaluwarsa.
Namun, apa yang terjadi dalam proses hukum tragedi Rawagede membuat apa yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu hendak diulangi lagi. Alasan kedaluwarsa ternyata ditolak majelis hakim Pengadilan Sipil Den Haag karena sifatnya yang khusus.
“Tragedi Kuta Reh oleh sebagian rakyat Belanda juga masih dikenang sebagai sesuatu yang keji dan sadis. Tragedi tersebut terdokumentasi dengan baik dalam wujud foto yang dipublikasikan pada 1905 dan oleh sebagian rakyat Belanda dinilai sebagai wajah kolonialisme secara keseluruhan di Indonesia. Sebagian lagi menilai foto tersebut hanyalah sebagai perkecualian.
Namun, secara umum, hal tersebut memperlihatkan adanya pembunuhan massal di era Perang Aceh yang cukup panjang dan melelahkan bagi Belanda,” ujarnya. (Junaidi Hanafiah/Sinar Harapan)

Ureueng Inoeng “Aset” Nanggroe

Oleh Fadhlina H.S - Profil perempuan Aceh dalam sejarah patut dijadikan bahan kontemplasi berharga. Peran aktif perempuan di masa lalu telah mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di abad ini. Ini dapat dibuktikan dari perjuangan perempuan Aceh dalam melawan kolonialisme. Begitu dominanya peran aktif perempuan dalam kemiliteran dan politik, sehingga dikenal di mata internasional.
Perempuan Aceh yang namanya diabadikan sebagai investasi histories. Menduduki posisi sentral sebagai pemimpin negara, anggota parlemen dan perancang strategis militer Aceh dalam konstelasi negara berdaulat. Tokoh-tokoh seperti halnya Keumalahayati, Tengku Fakinah, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan sederet tokoh lainnya (Puteh, 2002: 10).
Aceh Serambi Mekah, menyimpan banyak ukiran nilai sejarah yang menghiasi lembaran buku klasik dan modern. Kita bisa mendapatinya di museum meuseum, baik skala nasional maupun internasional. Ini menjadi bukti otentik dan faktual, kejayaan Aceh dahulu. Bila dikaji secara komprehensif, banyak hal yang menarik berkenaan dengan perempuan Aceh, baik ditinjau dari sisi kepahlawanan maupun dari sisi kenegarawan (kepemimpinan).
Aceh sebagai wilayah kerajaan Islam pertama di Indonesia, melibatkan perempuan dalam pembangunan. Keterlibatan itu tidak hanya di pemerintahan, tetapi juga di barisan militer. Bahkan ada perempuan yang dinobatkan sebagai komandan perang Aceh melawan Belanda. Di dalam barisan birokrat perempuan Aceh juga diposisikan sebagai sosok negarawan. Pelajari saja dalam sejarah kerajaan Aceh yang ikut dipimpin oleh perempuan. Kita ingat beberapa nama itu seperti, Sri Al-Sulthanah Tajul al-‘Alam Safiat al-Din Syah Johan berdaulat Hukm Zill-Illahi fi al-‘Alam (1050-1086 H/1641-1675 M). Kedua, Sri Al-Sulthanah Nur al-‘Alam Naqiyyah al-Din Syah Johan berdaulat Hukm Zill-Illahi fi al-‘Alam (1086-1088 H/1675-1678 M). Ketiga, Sri Sulthanah Zakqiyyat al-Din Syah Johan berdaulat Hukm Zill-Illahi fi al-‘Alam (1088-1098 H/ 1678-1688 M). Ke empat, Sri Sulthanah Keumalat al-Din Syah Johan berdaulat Hukm Zill-Illahi fi al-‘Alam (1098-1109 H/1688-1699 M), (Hasjmy, 1976: 32). Bukti-bukti bahwa kerajaan Aceh yang berazas Islam, memandang sama hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam masyarakat bangsa dan masyrakat dunia, perbedaan hanya terletak pada ketakwaan.
Selain memperoleh predikat dan berkedudukan sebagai ratu, sebagaian perempuan Aceh juga aktif dalam parlemen, pada masa kerajaan Ratu Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat yang sekarang disebut sebagai DPR/MPR, mengadakan perombakan perombakan susunan anggota Badan Legislatif yang terdiri dari 73 orang, dan di dalamnya ditempatkan beberapa orang perempuan. Mereka ikut serta dalam majelis untuk bersama-sama dengan kaum laki-laki mengatur urusan Negara dalam rangka mempertimbangkan kebijakan-kebijakan Sulthanah dan meneliti adat dan hukum yang layak supaya keadilan, kemakmuran, dan kesentosaan serta kedamaian dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.
Peran perempuan di saat itu, merupakan satu keharusan bagi terwujudnya keadilan. Keadilan ini bisa jadi keadilan terhadap perempuan dan laki-laki. Alasan lain mengapa perempuan didudukkan dalam parlemen agar segala kebijakan yang akan ditentukan nantinya tidak menginjak hak-hak perempuan. Adapun nama-nama anggota parlemen peremepuan tersebut adalah: Si Nyak Bunga, Si Halifah, Si Maimunah, Si Sanah, Siti Cahya, Mahkiah, Si Nyak Puan, Nadisah, Si Nyak Ti Cahya, Umi Puan, Siti Awan, Umi Nyak Angka, Maina Thalib, dan Si Habibah (Puteh, 2002: 14).
Sejarah juga mencatat kecermelangan eksistensi perempuan Aceh semakin terlihat dalam skop universal, dimana perannya sertanya menjadi pejuang dengan jabatan panglima perang seperti Laksamana Malahayati yang menjadi perempuan pertama yang menduduki tingkat elit angkatan bersenjata, dia menjadi Laksamana kapal-kapal laut kerajaan Aceh. Ini membuktikan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam peran publik. Dimana relasi gender tercipta sangat harmonis dan tidak menjadi penghalang bagi perempuan Aceh untuk berkiprah dalam ranah publik.
Potret perempuan Aceh masa lalu yang telah berhasil mendobrak dominasi laki-laki dalam ruang publik dan perjuangan, selayaknya menjadi bahan renungan dan catatan besar bagi rakyat Aceh di zaman demokrasi.
Keterlibatan perempuan dalam semua bidang di masa lalu telah mengangkat harkat dan martabat perempuan perempuan Aceh. Ini bukti bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah dimulai di Aceh jauh sebeum slogan “emansipasi perempuan” atau “gender “ berkembang di tengah kehidupan modern. Baik aspek politik, pendidikan, militer, agama, social dan budaya, ini menjadi bukti bahwa rakyak Aceh sudah jauh lebih maju dalam tingkat berfikirnya. Dan ini diakui oleh seluruh pihak baik lokal, nasional maupun internasional.
Perempuan Aceh hadir di tengah masyarakat dengan segala bidang dan keahliannya. Mereka dibesarkan oleh kultur dan budaya, dengan segala keistimewaan yang disandang, namun sangat disayangkan bila dalam kehidupan modern ini peran dan posisi perempuan tidak seperti yang terukir dalam sejarah. Apalagi bila ini lebih mundur dari yang pernah ada. Ini tampak dalam perkembangan peran perempuan Aceh yang dulunya dominan, baik dalam konteks domestik maupun publik.
Perempuan Aceh yang dikenal berani, tegar, tegas dan unik dengan identitas budayanya memang tidak perlu diragukan lagi, namun kini, perlu upaya revitalisasi terhadap peran perempuan dengan melakukan beberapa strategi pendekatan dalam upaya mengembalikan ruh perempuan Aceh.
Pertama, mengkaji ulang tentang pemahaman syariat yang mendiskriminasi perempuan, tidak hanya terbatas pada pemahaman tekstual. Islam adalah agama rahmatan lil’alamin menjadi kehidupan lebih baik bukan mengekang kreatifitas umat khususnya perempuan. Karena persoalan yang muncul akibat politisasi syariat Islam, menimbulkan kesan Islam melarang perempuan menjadi pemimpin. Padahal pada konsepnya Islam mengajarkan kesetaraan. Kondisi idealnya masih sangat jauh dari harapan akibat senjangnya political will untuk akses yang sama terhadap peran-peran perempuan terutama untuk akses strategis.
Kedua, isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan perlu dipahami sebagai sebuah upaya pendekatan dalam menyelesaikan persoalan ketidakadilan, mengkaji ulang akar persoalan ketidakadilan gender yang disebabkan oleh budaya yang telah mengekang kedudukan dan peran perempuan, interpretasi agama, dan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak memihak terhadap perempuan.
Selanjutnya perlu adanya pendataan terhadap perempuan-perempuan yang berpotensi dan melakukan perberdayaan agar potensi yang ada dapat dimamfaatkan demi keberlansunggan peran danketerlibatan perempuan di segala aspek. Perlu survey terhadap perempuan yang pernah mengikuti pembekalan atau training gender dengan target melihat implementasi dari hasil pembekalan yang mereka terima terhadap sesuatu yang mampu dilakukan dalam upaya pemberdayaan perempuan.
Upaya –upayan ini salah satu cara untuk penyeimbangan kembali kehidupan antara laki-laki dan perempuan dalam kedudukan, posisi dan peran d itengah masyarakat. Dengan harapan perempuan Aceh akan kembali mengukir kesuksesan dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban Aceh masa mendatang. Yakinlah, bahwa perempuan adalah asset besar bagi Aceh dan bangsa ini.[]
*Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjan IAIN Ar Raniry, Berdomisili di Ilie Ulee Kareng, Banda Aceh

Merekam Jejak Aceh di Kota Salem, Amerika Serikat

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo - Seperti tersembunyi dibalik debu sejarah, tidak banyak yang tahu bahwa Aceh dan Kota Salem, Massachusetts, Amerika Serikat mempunyai hubungan yang sangat erat di masa lampau.
Terkhusus dalam hal perdagangan lada. Sanking eratnya, hingga logo Kota Salem pun menggunakan simbol-simbol Aceh. Benarlah Aceh punya sejarah gilang gemilang di masa lalu.
Berawal dari sebuah tag di Facebook oleh teman saya, Safar Manaf, saya tertarik menelusuri lebih lanjut bagaimana hubungan antara Aceh dengan Salem. Atau lebih layak dikatakan hubungan Aceh dengan Amerika Serikat pada waktu itu, mengingat hal-hal yang terjadi di kemudian hari melibatkan Pemerintah Amerika Serikat dibawah pimpinan Presiden Jackson.
Safar Manaf dalam blognya menulis secara singkat mengenai sejarah Kota Salem. Uraian sejarah tersebut bisa diakses dengan mengklik tab City Seal pada website kota Salem [dapat dilihat di referensi tulisan ini]. Berikut adalah terjemahan versi Safar Manaf terhadap teks tersebut:
“Pada tahun 1654, Elihu Yale mengirim dua karyawannya ke Atjeh, kerajaan merdeka termegah di Sumatera, untuk menjalankan perdagangan lada. Muatan lada terakhir memasuki Salem, Massachusetts dari Sumatera pada 6 November 1846, diangkut oleh kapal Lucilla. Salem telah memegang peranan utama dalam perdagangan lada sejak Pemimpin Salem memulai bisnis ini. Begitu pentingnya posisi Salem saat itu, seratus tahun kemudian, orang-orang di Australia masih menyebut biji merica dengan panggilan “lada Salem”.
Kenyataannya jika kita menelisik kembali lambang kota Salem, kita akan menemukan gambaran seorang Atjeh. Pada puncak perdagangan lada, Dewan Kota memerintahkan untuk menciptakan sebuah segel yang menggambarkan “Sebuah kapal yang sedang berlayar, mendekati pantai yang digambarkan dengan seseorang yang berdiri di antara pepohonan di mana kostumnya menunjukkan wilayah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur, motto ‘Divitis Indiae usque ad ultimum sinum’ … yang berarti “Menuju pelabuhan terjauh di Timur yang kaya…”
George Peabody, anak dari pedagang lada yang disegani, dan dia sendiri juga memiliki kapal pengangkut lada, melukis desain seorang pria memakai serban merah rata, celana panjang merah dan ikat pinggang merah, jubah kuning sebatas lutut dan baju luar warna biru. Tidak ada masyarakat lain di Hindia Timur yang memiliki pakaian semirip ini yang lebih mendekati selain masyarakat Atjeh, dan mungkin itulah maksudnya.
Hanya dokumen resmi kota Salem yang dibenarkan memakai Lambang kota tersebut. Adalah termasuk pelanggaran hukum Negara dan Peraturan Lokal, jika memakai lambang ini pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan urusan resmi Kota Salem. Pegawai Kota adalah penjaga Emblem Kota.
Perdagangan, bisnis, di manapun dan kapanpun ternyata menyimpan intrik-intrik yang bisa menghancurkan hubungan yang terbina baik sejak lama. Keinginan untuk mengeruk keuntungan pribadi dan politik dagang telah membuat hubungan Aceh dan Amerika Serikat retak.
Aceh pernah digempur Amerika Serikat akibat politik dagang dan provokasi Belanda. Pelabuhan Kuala Batu di Susoh, Aceh Selatan rata dengan tanah. Menurut M Nur El Ibrahimy dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, setiap tahun diangkut sekitar 42.000 pikul atau sekitar 3.000 ton. Pusat perdagangan itu di Pelabuhan Kuala Batu, Susoh.
Sejak tahun 1829, karena harga lada di pasaran internasional merosot, jumlah kapal Amerika yang datang ke pelabuhan Aceh mulai menurun. Di antara kapal yang datang dalam masa kemerosotan ekonomi itu adalah kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sering membawa kapalnya ke Aceh.
Pada 7 Februari 1831 kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sering membawa kapalnya ke Aceh, berlabuh di pelabuhan Kuala Batu, Aceh Selatan. Ketika Endicot dan anak huahnya berada di daratan, tiba-tiba kapal tersebut dibajak oleh sekelompok penduduk Kuala Batu. Akan tetapi, dapat dirampas kembali oleh kapal-kapal Amerika yang kebetulan saat itu berada di perairan Kuala dengan kerugian sebesar US $ 50.000 dan tiga anak buahnya terbunuh.
Peristiwa itu kemudian menimbulkan sejumlah tanda tanya. Pasalnya, selama setengah abad menjalin hubungan dagang belum pernah terjadi perompakan seperti itu. Menurut M Nur El Ibrahimy, ada beberapa penyebab terjadinya peristiwa tersebut.
Pertama, peristiwa itu dipicu oleh kekecewaan orang Aceh yang selalu ditipu oleh Amerika dalam perdagangan lada.
Itu hanya satu faktor. Penyebab lain, Belanda berhasil memprovokasi orang Aceh untuk menyerang kapal-kapal Amerika. Tujuannya, Belanda ingin merusak nama baik Kerajaan Aceh sehingga terkesan tidak mampu melindungi kapal asing yang berlabuh di Aceh.
Tentu saja Kerajaan Aceh sibuk memberi klarifikasi. Belakangan, diketahui Belanda yang membayar dan mempersenjatai kapal Aceh yang dinakhodai Lahuda Langkap untuk menyerang kapal Amerika dengan menggunakan bendera Kerajaan Aceh.
Kejadian ini membuat kerugian besar di pihak Amerika Serikat dan beberap kru kapal tewas di tangan perompak. Hal ini menyebabkan kemarahan besar di pihak Amerika. Senator Nathanian Silsbee, salah seorang pemilik kapal Friendship dan Partai Whip (Partai Republiken) yang beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Jackson, sekaligus seorang politikus yang sangat berpengaruh pada masa itu, langsung menyurati Presiden Jackson pada tanggal 20 Juli 1831.
Subuh 6 Februari 1832, sebanyak 260 orang marinir Amerika di bawah pimpinan Shubrick, komandan kapal perang terbaik Amerika saat itu, Potomac, membumihanguskan pelabuhan Kuala Batee, Susoh, Aceh Barat dibawah perintah langsung Presiden Jackson.
Bagaimanapun, hubungan Kerajaan Aceh dengan Amerika Serikat sudah terbina sejak lama. Dan bukti nyata hubungan tersebut terpatri dalam logo Kota Salem, Massachusetts. Akankah sejarah kejayaan “lada” Aceh kembali terulang.

*Penulis seorang dokter asal Aceh yang sedang menjalani PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK Unsri, Palembang
Referensi
1. http://culacalo-tuleih.blogspot.com/2012/04/aceh-emblem-kota-salem.html

2. http://en.wikipedia.org/wiki/Salem,_Massachusetts

3. http://www.salem.com/pages/index

4. http://www.salemweb.com/community/city.shtml

5. http://www.terbaca.com/2011/09/kisah-serang-usa-ke-aceh.html

Sumber Utama
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wisata Aceh - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger